Minggu, 30 Desember 2007

Nota Buat Adian Husaini

Oleh Ruzbihan Hamazani

Adian Husaini adalah salah satu penulis yang sangat digemari banyak
kalangan Islam. Ia menulis rutin setiap minggu di Majalah
Hidayatullah. Kolom-kolom mingguannya dibahas di Radio Dakta. Sebagai
bekas wartawan, ia memang memiliki ketrampilan menulis yang cukup
baik, enak dibaca, dan renyah. Kelemahan Adian hanya satu: sering
memeragakan logika yang janggal. Ala kulli hal, salut untuk Adian Husaini.

Baru-baru ini, ia menulis sebuah kolom di situs Hidayatullah,
"Mitos-Mitos tentang Perayaan Natal Bersama". Tulisan ini beredar di
banyak milis. Dalam tulisannya itu, ia mengkritik Prof. Din Syamsuddin
yang menghadiri Perayaan Natal Bersama. Tulisan pendek ini ingin
sekedar memberikan catatan pada kolomnya itu.

Tokoh kerukunan?

Saya ingin mulai dengan hal yang sederhana. Adian mengenalkan dirinya
di ujung tulisan sebagai Wakil Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama
MUI Pusat. Saya berteriak dalam hati: What? Bagaimana orang seperti
Adian menjadi seorang pejabat penting di MUI pusat untuk mengurus soal
kerukunan umat beragama? Apakah saya tak salah? Apakah kata
"kerukunan" mempunyai arti lain di sini? Kata "kerukunan" berasal dari
akar kata "rukun" yang artinya kira-kira laras, harmonis, serasi,
damai, dsb. Kata rukun berlawanan dengan sejumlah kata lain: tengkar,
cekcok, curiga, dst.

Setahu saya, tulisan-tulisan Adian Husaini selama ini penuh dengan
rasa curiga pada agama lain, terutama Kristen, nyinyir pada
kelompok-kelompok Islam yang memperjuangkan dialog antaragama dan
pluralisme, dst. Dia dulu juga pernah menjadi salah satu pengurus
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), lembaga Islam yang kita kenal
membenci orang Kristen, dan selalu dengan mudah menuduh pihak "lawan
debat" dengan istilah antek Yahudi (seperti terjadi pada Cak Nur).
Bagaimana orang dengan rekam jejak seperti ini diserahi tugas untuk
mengurus kerukunan antar umat beragama? Apakah ini tidak sama dengan
meminta seorang koruptor menjadi anggota KPK? Apakah mungkin sapu
kotor membersihkan lantai? Bukankah faqid al-shai' la yu'thihi, kata
pepatah Arab (orang yang tak punya sesuatu, tak akan bisa memberikan
sesuatu itu)?

Nada tulisan Adian soal mitos-mitos perayaan Natal bersama itu
sendiri, seperti anda bisa baca, kuat sekali diwarnai dengan nada
eksklusivisme, curiga pada kelompok lain, dan sama sekali antidialog.

Jika MUI memang benar-benar memiliki komitmen untuk membangun
kerukunan antaragama di Indonesia, tampaknya lembaga itu perlu
berpikir ulang untuk mempertahankan Adian Husaini dalam komisi
kerukunan tersebut. Alih-alih memperjuangkan kerukunan, orang seperti
Adian ini hanya akan mempertahankan kecurigaan dan kebencian. Kecuali
jika MUI memang niatnya sejak awal adalah mendirikan Komisi Kecurigaan
Umat Beragama. Jika benar demikian, tentu saya seratus persen
mendukung Adian Husaini bertahan selama-lamanya di sana.

Mitos Adian atau mitos sungguhan?

1.

Adian mengemukakan sejumlah mitos di sekitar perayaan natal bersama
(PNB). Sekarang marilah kita memeriksa satu per satu mitos-mitos yang
dikemukakan oleh Adian.

Pertama, dia mengatakan bahwa ada mitos tentang keharusan mengikuti
PNB. "Mitos ini seperti sudah begitu berurat berakar, bahwa PNB adalah
enak dan perlu," ujarnya. Saya sungguh tak tahu, dari manakah Adian
memetik mitos ini: Apakah dari pohon mangga di belakang rumahnya, atau
dari kebun milik temannya? Tak ada seorang pun mewajibkan ikut
perayaan Natal bersama. Orang boleh ikut, boleh tidak. Tak ada
undang-udang yang mengharuskan, juga tak ada kewajiban sosial untuk
melakukannya. Teman-teman saya yang beragama Kristen sama sekali
mengerti jika saya tak ikut perayaan Natal, karena khawatir dianggap
memaksakan iman. Tetangga saya yang Kristen yang hampir setiap tahun
mengucapkan Selamat Idul Fitri tak pernah meminta "balas jasa" kepada
saya untuk mengucapkan Selamat Natal setiap bulan Desember tiba.

Jadi, dari mana Adian dengan begitu cemerlangnya menemukan mitos ini?
Jika mitos ini benar-benar ada, tentu Adian layak mendapat
pernghargaan yang setinggi-tingginya atas penemuan yang cerdas ini.
Mungkin ia layak dimasukkan di musium rekor Indonesia (MURI). Yang
sungguh menakjubkan, Adian mengatakan bahwa mitos ini telah berurat
berakar dalam masyarakat. Saya tak tahu, masyarakat mana yang sedang
dibicarakan Adian.

Jadi, apa yang sesungguhnya terjadi dalam masyarakat?

Istilah Perayaan Natal Bersama sebetulnya mudah ditelusuri
asal-usulnya. Masyarakat kita mengenal adat-bertetangga yang bentuknya
macam-macam. Kalau anda hidup di desa, adalah hal yang lumrah jika
tetangga anda sedang punya perhelatan, anda diundang untuk datang
dalam acara itu. Adat seperti ini berlaku tanpa mengenal perbedaan
agama. Kalau tetangga saya yang Kristen sedang "mantu" dia akan
mengundang saya. Saat saya mengadakan pertemuan RT di rumah yang
kadang disertai dengan membaca ratib, barzanji atau yasinan, saya juga
akan mengudang tetangga saya yang Kristen itu.

Adat ini yang kemudian diteruskan pada tingkat yang lebih besar lagi.
Saat Idul Fitri, umat Islam mengadakan acara halal bihalal di kantor
atau perusahaan tempat mereka kerja. Tentu tak enak kalau acara ini
hanya dihadiri karyawan yang Muslim saja. Lalu, diundanglah karyawan
lain yang beragama Kristen. Bagus. Rukun. Begitu juga sebaliknya, saat
Natal tiba, karyawan yang Kristen mengadakan natalan. Yang Muslim
diundang pula. Ini berlaku pula untuk agama-agama yang lain.

Kebiasaan ini dilanjutkan pada level kenegaraan. Karena negara kita
bukan hanya milik orang Islam saja, tetapi milik semuanya, maka setiap
ada hari raya agama tertentu, diadakanlah upacara. Ada halal bihalal,
mauludan, rajaban, dst. Ada acara natalan, waisakan, nyepi, imlek,
dst. Tentu sudah selayaknya jika pejabat publik yang menjadi milik
semua bangsa Indonesia datang dalam acara-acara seperti itu. Kalau
presiden dikritik karena mendatangi acara natalan, padahal dia seorang
Muslim, maka hanya ada dua kemungkinan: mungkin si pengkritik itu
adalah orang a-sosial yang tak mengerti adat bertetangga dalam
masyarakat, orang kuper yang hanya tahu dirinya sendiri saja; atau dia
sedang terkena "sihir" ideologi tertentu yang membuatnya berpikir aneh
seperti itu.

2.

Mitos kedua yang disebut oleh Adian adalah bahwa PNB adalah sarana
untuk memupuk kerukunan antar umat beragama. Nada tulisan Adian ingin
menggiring kita untuk percaya bahwa PNB sama sekali tak akan memupuk
kerukunan. Saya tak tahu, apakah Adian juga menghendaki agar kita
percaya bahwa bukan hanya tak memupuk kerukunan, tetapi PNB bisa
menimbulkan pertikaian antar agama? Kalau yang terakhir ini benar,
saya tak tahu lagi, sistem logika mana yang dipakai oleh anggota
Komisi "Kerukunan" ini. Maksud saya tentu kerukunan dalam tanda kutip.

Tentu jalan untuk memupuk kerukunan banyak sekali, antara lain lewat
pertukaran kunjungan saat hari raya. Kalau kita kembali ke contoh
mikro dalam kehidupan sehari-hari, maka saya akan mengatakan bahwa ada
banyak cara yang bisa saya tempuh untuk menjadi tetangga yang baik
bagi tetangga saya yang beragama Kristen, Budha, Konghucu, atau
lainnya. Cara itu meliputi banyak hal. Misalnya: kalau tetangga saya
sedang selamatan untuk promosi jabatan baru, saya akan datang. Kalau
saya mengadakan selamatan walimatus safar untuk pergi haji, dia saya
undang. Begitulah seterusnya.

Ini juga berlaku pada level kenegaraan. Sudah tentu, jika presiden
atau menteri yang beragama Muslim datang dalam acara natalan,
masyarakat Kristen akan merasa lega, sebagaimana saya akan lega jika
melihat tokoh Kristen datang ke acara-acara Islam. Sebagaimana umat
Islam di Amerika merasa senang saat Presiden Bush mengadakan ifthar
atau buka bersama di Gedung Putih, begitu pula umat Kristen di
Indonesia akan merasa senang jika Pak Presiden yang Muslim dan berpeci
datang di acara natalan. Inilah yang dalam studi-studi mengenai
multikulturalisme disebut sebagai "the politics of recognition" ,
politik pengakuan. Apakah kita akan mengatakan kepada Presiden Bush
bahwa anda salah melakukan buka bersama di Gedung Putih, sebab itu
sama saja anda mengakui kebenaran agama Islam? Inikah logika yang
hendak dipakai oleh Pak Wakil Komisi Kerukunan MUI?

Dalam politik pengakuan, simbol dan budaya memainkan peran penting.
Begitu pula Simbol memainkan peran yang sangat penting dalam
masyarakat plural. Karena itu, tak salah, bahkan penting sekali
memainkan simbol untuk memupuk kerukunan antaragama. Salah satu simbol
yang sangat penting di mata masyarakat adalah simbol-simbol yang
berkaitan dengan agama. Upacara-upacara keagamaan memiliki makna yang
penting. Dengan memainkan simbol ini secara tepat, kerukunan dalam
masyarakat bisa dipupuk dan diperkokoh. Ini hal sederhana yang bisa
diketahui oleh semua orang awam. Saya tak tahu, bagaimana seorang
anggota Komisi Kerukunan MUI bisa tak mengerti hal yang simpel seperti
ini.

Adian menyebut bahwa dalam PNB ditegaskan keyakinan Kristen tentang
Yesus sebagai anak Tuhan. Pertanyaan awam yang harus diajukan adalah:
Apakah jika seseorang datang ke perayaan Natal dengan sendirinya
percaya pada doktrin dan akidah Kristen? Saat Presiden Bush mengadakan
buka bersama di Gedung Putih, apakah dia serta merta percaya pada
dasar akidah Islam yaitu tauhid/monoteisme? Saat tetangga saya yang
Kristen datang ke rumah untuk menghadiri acara yasinan, apakah dia
kemudian berubah iman?

Kalau orang Islam takut dengan histeris datang ke perayaan Natal
karena khawatir "tertular" akidah Kristen, ini sungguh mengherankan:
Betapa lemahnya akidah umat Islam? Di mana dakwah ulama selama ini?
Apakah dakwah Islam gagal mencetak Muslim dengan akidah yang kokoh?
Ataukah yang bermasalah sebetulnya para "elit" agama yang tak
mempercayai kualitas iman umat Islam yang sebetulnya tak sekeropos
yang mereka kira?

Adian juga menyebut sejumlah ayat dalam Injil serta dokumen Kristen
tentang keselamatan tunggal melalui Yesus. Apakah Adian lupa bahwa
dalam Islam juga ada doktrin serupa, bahwa agama satu-satunya yang
benar adalah Islam (inna al-dina 'inda 'l-Lahi al-Islam)? Jadi di mana
letak soalnya? Saat orang Kristen datang ke kantor Muhammdiyah atau
PBNU untuk menghadiri acara keagamaan, tentu tidak dengan sendirinya
ia meninggalkan doktrin keselamatan tunggal lewat Yesus dan
mempercayai "keselamatan" lewat Islam. Dia datang sebagai bagian dari
etiket sosial.

Kalau kemudian ia dapat hikmah dari kehadirannya di acara itu,
alhamdulillah. Begitu juga sebaliknya, kalau seorang Muslim datang ke
acara natalan, dan mendapatkan hikmah dari acara di sana, tentu sangat
baik. Bukankah tidak semua hal dalam Kristen salah dalam pandangan
Islam? Banyak sekali ajaran kebenaran dalam agama Kristen. Bukankah
"al-hikmah dhallat al-mu'min, ainama wajadaha akhadzaha"
(kebijaksanaan adalah barang hilang milik seorang beriman; di manapun
ia menjumpainya, sudah selayaknya ia memungutnya) ? Jadi apatah yang
ditakutkan, wahai Adian?

3.

Mitos ketiga: Adian menyebut bahwa dalam PNB, seorang Muslim hanya
menghadiri upacara non-ritual. Menurut Adian, ini adalah mitos.
Seorang yang menghadiri natalan sekaligus menghadiri upacara ibadah
atau misa. Alasan yang dikemukakan Adian sungguh menarik sekali: bahwa
dalam Kristen tak ada beda yang tegas antara aspek ritual dan
non-ritual. Definisi ibadah dalam Kristen berbeda-beda dari satu sekte
ke sekte yang lain.

Harap diketahui, Adian bukanlah pakar mengenai agama Kristen. Jadi,
apa yang ia katakan mengenai agama Kristen tak perlu didengarkan
dengan serius. Kalau kita ingin tahu mengenai agama Kristen dan
batas-batas antara aspek-aspek ritual dan non-ritual dalam acara
natalan, sebaiknya tanya langsung kepada pakar Kristen. Sementara itu,
kita ikuti saja cara berpikir anggota Komisi "Kerukunan" MUI ini.

Adian mengutip pendapat Huston Smith, pakar mengenai perbandingan
agama, seperti berikut ini: "Christianity, is basically a historical
religion. It is founded not in abstract principles, but in concrete
events, actual historical happenings." Saya tak tahu, apa kaitan
antara kutipan ini dengan apa yang sedang ia bicarakan. Kutipan itu
menegaskan bahwa Kristen adalah agama yang bersifat historis, bukan
agama yang ditegakkan atas prinsip-prinsip abstrak. So? Apa kaitannya?
Saya tahu apa yang mau dituju oleh Adian: karena agama Kristen adalah
agama historis, maka dia akan menyesuaikan diri dengan perkembangan
sejarah; tak mengenal doktrin dan ritual yang tetap, selalu berubah.
Kalau benar ini yang dimaksud, saya ragu apakah benar semua hal dalam
Kristen berubah terus. Dalam setiap agama, selalu ada aspek yang
tetap, permanen, dan ada hal yang bisa diubah. Agama yang baik adalah
yang bisa memainkan keseimbangan antara hal-hal yang permanen dan
berubah. Seberapa jauh agama mampu menyesuaikan diri dengan
perkembangan zaman, atau "aggiornamento" dalam istilah Katolik, sangat
menentukan nasib agama itu. Secara umum, makin agama mampu berubah dan
menyesuaikan diri, tanpa kehilangan jati diri tentunya, makin baik.

Yang menarik adalah Adian mengutip dari Prof. Huston Smith, seorang
sarjana yang memiliki simpati luar biasa pada Islam, juga pada
agama-agama yang lain. Buku Smith, "The World's Religion" dipuji di
mana-mana sebagai salah satu buku yang membantu kita memahami dengan
simpatik agama-agama besar di dunia saat ini. Pendekatan Smith dalam
buku itu adalah mencoba mengembangkan simpati pada semua agama, sebab
pada intinya semua agama membawa "benih" yang sama, yakni jalan menuju
kepada yang transenden. Semangat seperti dikembangkan Smith inilah
yang layak dihayati oleh orang-orang yang hendak memupuk kerukunan
antaragama.

Betapa jauhnya semangat Prof. Smith ini dengan nada hampir sebagian
besar tulisan Adian yang apologetik, curiga pada agama lain, curiga
pada wacana pluralisme, dan tak nyaman dengan dialog antaragama.

Yang menarik lagi adalah Adian mengutip tulisan Remi Silado yang
mengkritik ritual natalan. Menurut Remi, tradisi Natal merupakan
kelanjutan dari tradisi pagan dan istiadat kafir. Kita semua tahu,
walau dikenal dengan puisi-puisi mbeling dulu pada dekade 70an, tetapi
Remi tetaplah seorang Kristen yang taat. Dia kritis pada tradisi dalam
Kristen sendiri, tetapi tak kehilangan komitmen pada agama itu. Kritik
atas Natal yang diungkapkan oleh Remi ini sudah diketahui luas oleh
kalangan Kristen sendiri. Pihak Kristen tidak kalang kabut dengan
kritik seperti itu. Betapa bedanya semangat seperti ini dengan
semangat tulisan-tulisan Adian selama ini yang apologetik dan defensif
saat ada orang-orang yang mengkritik tradisi tertentu dalam Islam.
Bisakah Adian bersikap seperti Remi Silado yang dikutipnya itu?

4.

Mitos terakhir: dalam perayaan natalan, menurut Adian, terselip misi
kristenisasi. Di sini terbuka kedok sesungguhnya yang dikenakan Adian.
Dia sama sekali bukanlah orang yang menghayati semangat dialog
ataragama dan tugas membangun kerukunan antaragama. Mindset Adian
adalah selalu mencurigai agama lain sebagai agama yang akan melakukan
ekspansi. Acara natalan dicurigainya sebagai alat untuk kristenisasi.
Sebagai bekas pengurus DDII tentu kita tak perlu kaget dengan watak
Adian seperti ini. Tetapi, sungguh amat kita sayangkan orang seperti
ini diserahi tugas membina kerukunan umat beragama di Indonesia.
Kerukunan seperti apakah yang akan lahir dari orang seperti ini?

Mendakwahkan agama adalah tugas mulia setiap agama. Umat Islam sudah
seharusnya mendakwahkan agamanya. Umat Kristen idem ditto. Begitu pula
umat agama-agama lain. Asal dakwah dijalankan dengan beradab dan fair,
tentu kita dukung. Dakwah yang menggunakan cara-cara yang curang,
tentu kita tentang. Membujuk orang Islam agar masuk Kristen dengan
diiming-imingi materi, misalnya, tentu kita tentang. Kalangan Krsiten
sendiri mencela cara-cara culas seperti itu.

Tetapi ini semua tentu beda dengan sikap paranoid yang mencurigai
setiap kegiatan sosial umat Kristen sebagai alat kristenisasi.
Mencurigai acara natalan sebagai sebagai alat kristenisasi tak lain
adalah bentuk dari paranoia. Kenapa kita tak bisa menggunakan
pendekatan "positive thinking", bahwa acara natalan, lebaran,
mauludan, dan sebagainya, adalah sarana untuk memupuk kerukunan dan
solidaritas kebangsaan?

Membina kerukunan antaragama membutuhkan positive thinking, bukan
negative thinking seperti diperagakan oleh Wakil Ketua Komisi
Kerukunan MUI itu.

Wa 'l-Lahu a'lam bi 'l-shawab.

Kamis, 27 Desember 2007

Nasr Hamid Abu Zayd: Dibuang dan Dicekal

Posted by saidiman under Kebebasan

Aula pertemuan The Wahid Institute di Matraman, Jakarta Selatan, yang tak seberapa luas itu semakin tampak sempit dipenuhi oleh para aktivis, akademisi, dan kalangan wartawan। 26 November itu adalah hari dimana Prof. Nasr Hamid Abu Zaid seharusnya menyampaikan presentasi pada sebuah seminar internasional yang sedianya akan dilaksanakan di Malang, Jawa Timur. Atas undangan Abdurrahman Wahid, Abu Zaid dan beberapa tokoh lainnya menggelar konferensi pers.

Cerita bermula dari sebuah pesan yang dikirim melalui short message service (SMS) kepada Abu Zaid. Pesan pendek tersebut secara umum berisi permintaan kepada Abu Zaid untuk membatalkan kunjungannya ke Indonesia.

Sebagai tokoh yang telah lama dan sering memperoleh pelbagai bentuk pencekalan, hal semacam ini tampak biasa saja. Yang membuatnya tersentak adalah bahwa hal itu terjadi di Indonesia, negara berpenduduk mayoritas Islam yang selama ini dikaguminya. Suatu ketika, Abu Zaid bahkan pernah bermimpi untuk menghabiskan sisa hidupnya di negeri ini.

Yang lebih mengejutkan adalah bahwa sang pengirim SMS adalah Abdurrahman Mas’ud, Direktur Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama (Depag), yang juga bertindak sebagai penyelenggara acara. Abu Zaid bahkan datang ke Indonesia atas undangan lembaga negara tersebut. Abdurrahman Mas’ud, dalam SMS, menyebut bahwa dirinya telah melakukan konsultasi dengan Menteri Agama, Maftuh Basyuni, sebelum mengirimkan pesan pendek tersebut.

Berita ini dengan cepat tersebar. Banyak kalangan yang mengutuk keras upaya untuk menghalangi Abu Zaid datang ke Indonesia. Syafi’i Anwar, Direktur Indonesian Center for Islam and Pluralism (ICIP), menyatakan bahwa peristiwa itu akan memperburuk citra Islam dan Indonesia di luar negeri. Abdurrahman Wahid, Mantan Presiden RI, menyatakan bahwa peristiwa ini adalah bukti bahwa pemerintah sangat lemah dalam menegakkan konstitusi. Yenni Zanubah Wahid, Direktur The Wahid Institute, menyatakan “Tentu saja banyak pemikiran Zayd yang tidak sejalan dengan apa yang kita yakini, tetapi kita tidak punya hak untuk melarang dia mengemukakan pemikirannya.”

Muhammadiyah, melalui Ketua Umumnya, Din Syamsuddin, juga menyesalkan peristiwa ini. “Kita sangat peduli dengan kasus ini. Seharusnya peristiwa semacam ini tidak terjadi,” ungkap Din (The Jakarta Post, 29/11/2007). Lebih jauh Din menyatakan “Kedatangan Abu Zayd seharusnya dijadikan sebagai sarana tabayyun (klarifikasi) mengenai pemikiran keislamannya. Kita seharusnya mendudukkan persoalan semacam ini dalam sebuah forum diskusi atau debat yang lebih terbuka dan toleran.”

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama juga menyampaikan kecaman yang sama. Ketua PB NU, Masdar F. Mas’udi, menyatakan “Saya tidak berkepentingan untuk mengatakan apakah pemikiran keislaman Abu Zayd itu benar atau bid’ah (heretik)…tetapi adalah sangat tidak bijaksana untuk menaruh curiga yang berlebihan terhadap sebuah pemikiran baru yang bertentangan dengan pandangan umum” (The Jakarta Post, 29/11/2007).

Abdurrahman Mas’ud yang diwawancara oleh wartawan Madina, Saidiman, melalui telepon membantah isu pencekalan Abu Zayd. “Tidak pernah ada pencekalan terhadap Abu Zayd. Istilah pencekalan dalam bahasa Inggris saja saya tidak tahu,” tegasnya. Yang terjadi, menurut dia, adalah bahwa pihak panitia memperingatkan Abu Zayd untuk membatalkan kunjungannya ke Indonesia dan juga mengahadiri seminar internasional di Malang karena alasan keselamatan Abu Zayd sendiri. Dalam SMS yang dikirim kepada Abu Zayd, tidak ada kata-kata pencekalan.

Di samping itu, pihak panitia, menurut Mas’ud, khawatir acara akan terganggu dengan kehadiran Abu Zayd. “Terbukti setelah Abu Zayd batal hadir, acara berjalan lancar dan memperoleh sambutan yang sangat baik dari para peserta,” lanjut Mas’ud. Ditanya tentang apakah benar Menteri Agama yang langsung memerintahkan pembatalan, Mas’ud mengatakan bahwa pihaknya memang memperoleh masuk dari banyak kalangan, termasuk dari Menteri Agama. “Akan tetapi, panitia memiliki kewenangan sendiri untuk memutuskan dengan melihat kondisi yang ada,” imbuhnya.

Acara yang hendak dihadiri Abu Zayd tersebut adalah seminar internasional bertajuk “Moslem Youth As Agent of Change in Indonesia.” Seminar internasional ini tidak hanya dihadiri oleh peserta dari negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti Brunai, Banglades, dan Indonesia sendiri, tetapi juga dari negara-negara lain seperti Prancis, Amerika Serikat, Filipina, dan lain-lain. Acara tersebut dilaksanakan atas kerjasama Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departeman Agama dengan Universitas Leiden Negeri Belanda. Enam bulan sebelumnya, Abu Zayd telah dihubungi oleh panitia dan menyatakan kesediannya untuk hadir sebagai nara sumber.

Abu Zayd adalah sosok yang sangat akrab bagi banyak pemikir Islam di Indonesia. Beberapa bukunya diterjamahkan dan dibaca secara luas di Indonesia. Salah satu pemikirannya yang dianggap berbeda dengan mayoritas pemikiran lain adalah penegasannya tentang historisitas al-Qur’an. Zayd berkali-kali menegaskan bahwa ummat Islam tidak bisa naif terhadap fakta bahwa al-Qur’an diturunkan dalam masa dan bahasa tertentu. Bicara bahasa adalah bicara budaya, budaya dan bahasa pada masa tertentu.

Kendati Abu Zayd tidak mengingkari otentisitas al-Qur’an yang berasal dari Tuhan, tetapi ia tidak mau membuang dimensi kemanusian al-Qur’an itu sendiri. “Saya tidak mungkin menghabis begitu banyak waktu untuk meneliti sesuatu yang tidak saya yakini otentisitasnya,” tegas Abu Zayd (The Jakarta Post, 5/12/2007). Al-Qur’an adalah sebentuk komunikasi antara Tuhan dan manusia.

Abu Zayd mengakui bahwa banyak orang yang tidak memahami upayanya ini, lalu mengatakan bahwa dirinya bukanlah seorang Muslim. Tetapi dia tidak ambil peduli. Hanya Tuhanlah yang bisa memutuskan apakah ia benar seorang Muslim atau bukan.

Abu Zayd sendiri, dalam konferensi pers di Wahid Institute, tampak gusar memberi penjelasan. “Kelakukan semacam ini (yang dilakukan oleh pemerintah) adalah cerminan dari fenomena umum masyarakat (Indonesia) yang memang tidak menghargai perbedaan dan kebebasan,” tegasnya. “Saya prihatin terhadap masa depan kebebasan beragama dan demokrasi di Indonesia,” tambahnya. (Saidiman)

Rabu, 26 Desember 2007

Obituari Seorang Ajengan dari Cipasung (Obituari Kiai Ilyas Ruhiyat)

Oleh : Nong Darol Mahmada *

Seorang Ajengan dari Cipasung Kiai Ilyas Ruhiyat telah pergi. Sosok berhati lembut, tak silau dengan kedudukan, dan konsisten dalam bersikap.
Ia seorang ajengan—sebuah istilah Sunda untuk seorang kiai besar, penuh karisma. Ketika jenazahnya dikebumikan di kompleks pemakaman Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, Rabu pekan lalu, ribuan orang melayat.

Kiai Haji Ilyas Ruhiyat, 74 tahun, berpembawaan kalem, nada bicaranya datar seolah-olah tak ada yang dramatis dari hidup ini, dan—ini yang susah dilupakan—selalu ada senyum di bibirnya. Ia seperti sosok yang telah berdamai dengan hatinya, juga dengan orang lain.

KH Ilyas Ruhiyat putra seorang kiai besar di Cipasung, KH Ruhiyat. Ilyas hidup di dua dunia: pesantren dan organisasi Nahdlatul Ulama. Di kalangan pesantren, penampilannya cukup mengejutkan. Ia menguasai isi kitab Al-Fiyah Ibnu Malik (ilmu sharaf yang dirakit dalam seribu bait syair) pada usia 15 tahun.

KH Ilyas Ruhiyat mempunyai hidup yang sibuk. Sejak terpilih sebagai Ketua Cabang Nahdlatul Ulama Tasikmalaya pada 1954, ia aktif dalam organisasi. Bahkan, pada 1994, ia menjabat Rais Am PB NU untuk mendampingi KH Abdurrahman Wahid hasil muktamar di Cipasung. KH Ilyas Ruhiyat dikenal berwibawa besar, tapi juga selalu memandang orang lain sebagai satu entitas yang memiliki kebebasan menentukan jalan sendiri.

Mungkin karena itulah ia ”melanggar” kebiasaan menjodohkan anak perempuannya dengan anak lelaki kiai besar lain—bagian dari tradisi para kiai NU. Dua anak perempuannya, Ida Nurhalida dan Enung Nursaidah, kuliah di IKIP Bandung dan bersuami dari keluarga nonpesantren— kendati pada akhirnya anak-anak beserta para menantunya bahu-membahu meneruskan pengelolaan Pesantren Cipasung.

Sementara itu, Acep Zamzam Noor, anak lelakinya, lulusan Seni Rupa ITB dan memilih dunianya di luar pesantren: menjadi seniman-penyair.

KH Ilyas Ruhiyat sangat menguasai kitab kuning, tapi seumur-umur mengembangkan ruang toleransi yang luas terhadap ”yang lain”. Di Cipasung, pesantrennya hanya dipisahkan oleh jarak 500 meter dengan kompleks permukiman Ahmadiyah. Dan sejauh ini, tak ada yang membuat hubungan dua tetangga itu bermasalah. Bahkan, ketika berlangsung muktamar NU di Cipasung, permukiman mereka dijadikan tempat menginap sebagian peserta.

KH Ilyas Ruhiyat punya pendapat sendiri, tapi tidak berdakwah—apalagi memaksa—meluruskan akidah para penganut Ahmadiyah.

Ahmadiyah di Cipasung memang kemudian diserang. Tepat pada saat keluarga KH Ilyas Ruhiyat berduka melepas kepergian istri sang Kiai, Hajah Dedeh Fuadah, ke pangkuan Sang Khalik enam bulan lalu, Ahmadiyah dihantam. Ketika itu, sang Kiai juga sedang terbaring sakit. Tapi bukti-bukti menunjukkan bahwa para penyerang bukan warga Tasikmalaya dan sekitarnya.

KH Ilyas Ruhiyat berhati lembut, tapi itu tak membuatnya ragu-ragu manakala ia harus berbenturan dengan kekuatan penguasa yang luar biasa. Sejarah mencatat bagaimana Ilyas Ruhiyat tidak mau terkooptasi kekuasaan saat menjadi Rais Am PB NU mendampingi Abdurrahman Wahid.

Di tangan KH Ilyas dan Gus Dur, NU bisa tetap bersikap independen meski harus menghadapi aneka rongrongan rezim Orde Baru. Pada pengujung masa jabatannya, ia menunjukkan kepribadiannya yang tidak haus kekuasaan. Kemungkinan untuk menduduki posisi rais am tetap terbuka baginya, tapi ia memilih berhenti. Ia menyerahkan posisi itu kepada KH Sahal Mahfudz dan kembali ke pesantren, dunia tempat ia mengawali semua ini.

*Nong Darol Mahmada (Bekas santriwati Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, kini bekerja di Freedom Institute)

Selamat Natal Menurut Al-Qur'an

Oleh : Habib Dr. M Quraish Shihab
Sakit perut menjelang persalinan, memaksa Maryam
bersandar ke pohon kurma. Ingin rasanya beliau
mati, bahkan tidak pernah hidup sama sekali.
Tetapi Malaikat Jibril datang menghibur: "Ada anak
sungai di bawahmu, goyanghan pangkal pohon kurma
ke arahmu, makan, minum dan senangkan hatimu.
Kalau ada yang datang katakan: 'Aku bernazar tidak
bicara.'"

"Hai Maryam, engkau melakukan yang amat buruk.
Ayahmu bukan penjahat, ibumu pun bukan penzina,"
demikian kecaman kaumnya, ketika melihat bayi di
gendongannya. Tetapi Maryam terdiam. Beliau hanya
menunjuk bayinya. Dan ketika itu bercakaplah sang
bayi menjelaskan jati dirinya sebagai hamba Allah
yang diberi Al-Kitab, shalat, berzakat serta
mengabdi kepada ibunya. Kemudian sang bayi berdoa:
"Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku
pada hari kelahiranku, hari wafatku, dan pada hari
ketika aku dibangkitkan hidup kembali."

Itu cuplikan kisah Natal dari Al-Quran Surah Maryam ayat 34.
Dengan demikian, Al-Quran mengabadikan dan merestui ucapan
selamat Natal pertama dari dan untuk Nabi mulia itu, Isa
a.s.

Terlarangkah mengucapkan salam semacam itu? Bukankah
Al-Quran telah memberikan contoh? Bukankah ada juga salam
yang tertuju kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, keluarga
Ilyas, serta para nabi lainnya? Setiap Muslim harus percaya
kepada Isa a.s. seperti penjelasan ayat di atas, juga harus
percaya kepada Muhammad saw., karena keduanya adalah hamba
dan utusan Allah. Kita mohonkan curahan shalawat dan salam
untuk. mereka berdua sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh
nabi dan rasul. Tidak bolehkah kita merayakan hari lahir
(natal) Isa a.s.? Bukankah Nabi saw. juga merayakan hari
keselamatan Musa a.s. dari gangguan Fir'aun dengan berpuasa
'Asyura, seraya bersabda, "Kita lebih wajar merayakannya
daripada orang Yahudi pengikut Musa a.s."

Bukankah, "Para Nabi bersaudara hanya ibunya yang berbeda?"
seperti disabdakan Nabi Muhammad saw.? Bukankah seluruh umat
bersaudara? Apa salahnya kita bergembira dan menyambut
kegembiraan saudara kita dalam batas kemampuan kita, atau
batas yang digariskan oleh anutan kita? Demikian lebih
kurang pandangan satu pendapat.

Banyak persoalan yang berkaitan dengan kehidupan Al-Masih
yang dijelaskan oleh sejarah atau agama dan telah
disepakati, sehingga harus diterima. Tetapi, ada juga yang
tidak dibenarkan atau diperselisihkan. Disini, kita berhenti
untuk merujuk kepercayaan kita.

Isa a.s. datang mermbawa kasih, "Kasihilah seterumu dan
doakan yang menganiayamu." Muhammad saw. datang membawa
rahmat, "Rahmatilah yang di dunia, niscaya yang di langit
merahmatimu." Manusia adalah fokus ajaran keduanya; karena
itu, keduanya bangga dengan kemanusiaan.

Isa menunjuk dirinya sebagai "anak manusia," sedangkan
Muhammad saw. diperintah:kan oleh Allah untuk berkata: "Aku
manusia seperti kamu." Keduanya datang membebaskan manusia
dari kemiskinan ruhani, kebodohan, dan belenggu penindasan.
Ketika orang-orang mengira bahwa anak Jailrus yang sakit
telah mati, Al-Masih yang menyembuhkannya meluruskan
kekeliruan mereka dengan berkata, "Dia tidak mati, tetapi
tidur." Dan ketika terjadi gerhana pada hari wafatnya putra
Muhammad, orang berkata: "Matahari mengalami gerhana karena
kematiannya." Muhammad saw. lalu menegur, "Matahari tidak
mengalami gerhana karena kematian atau kehahiran seorang."
Keduanya datang membebaskan maanusia baik yang kecil, lemah
dan tertindas -dhu'afa' dan al-mustadh'affin dalam istilah
Al-Quran.

Bukankah ini satu dari sekian titik temu antara Muhammad dan
Al-Masih? Bukankah ini sebagian dari kandungan Kalimat Sawa'
(Kata Sepakat) yang ditawarkan Al-Quran kepada penganut
Kristen (dan Yahudi (QS 3:64)? Kalau demikian, apa salahnya
mengucapkan selamat natal, selama akidah masih dapat
dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang
dimaksud oleh Al-Quran sendiri yang telah mengabadikan
selamat natal itu?

Itulah antara lain alasan yang membenarkan seorang Muslim
mengucapkan selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan
ritual . Di sisi lain, marilah kita menggunakan kacamata
yang melarangnya.

Agama, sebelum negara, menuntut agar kerukunan umat
dipelihara. Karenanya salah, bahkan dosa, bila kerukunan
dikorbankan atas nama agama. Tetapi, juga salah serta dosa
pula, bila kesucian akidah ternodai oleh atau atas nama
kerukunan.

Teks keagamaan yang berkaitan dengan akidah sangat jelas,
dan tidak juga rinci. Itu semula untuk menghindari kerancuan
dan kesalahpahaman. Bahkan Al-Q!uran tidak menggunakan satu
kata yang mungkin dapat menimbulkan kesalahpahaman, sampai
dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu, tidak
disalahpahami. Kata "Allah," misalnya, tidak digunakan oleh
Al-Quran, ketika pengertian semantiknya yang dipahami
masyarakat jahiliah belum sesuai dengan yang dikehendaki
Islam. Kata yang digunakan sebagai ganti ketika itu adalah
Rabbuka (Tuhanmu, hai Muhammad) Demikian terlihat pada
wahlyu pertama hingga surah Al-Ikhlas. Nabi saw. sering
menguji pemahaman umat tentang Tuhan. Beliau tidak sekalipun
bertanya, "Dimana Tuhan?" Tertolak riwayat sang menggunakan
redaksi itu karena ia menimbulkan kesan keberadaan Tuhan
pada satu tempat, hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil
pula diucapkan oleh Nabi. Dengan alasan serupa, para ulama
bangsa kita enggan menggunakan kata "ada" bagi Tuhan,
tetapi "wujud Tuhan."

Natalan, walaupun berkaitan dengan Isa Al-Masih, manusia
agung lagi suci itu, namun ia dirayakan oleh umat Kristen
yang pandangannya terhadap Al-Masih berbeda dengan pandangan
Islam. Nah, mengucapkan "Selamat Natal" atau menghadiri
perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat
mengantar kepada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami
sebagai pengakuan akan ketuhanan Al-Masih, satu keyakinan
yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam. Dengan
kacamata itu, lahir larangan dan fatwa haram itu,
sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat,
aktivitas apa pun yang berkaitan dengan Natal tidak
dibenarkan, sampai pada jual beli untuk keperluann Natal.

Adakah kacamata lain? Mungkin!

Seperti terlihat, larangan ini muncul dalam rangka upaya
memelihara akidah. Karena, kekhawatiran kerancuan pemahaman,
agaknya lebih banyak ditujukan kepada mereka yang
dikhawatirkan kabur akidahnya. Nah, kalau demikian, jika ada
seseorang yang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya
atau mengucapkannya sesuai dengan kandungan "Selamat
Natal" Qurani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan
situasi dimana hal itu diucapkan, sehingga tidak menimbulkan
kerancuan akidah baik bagi dirinya ataupun Muslim yang lain,
maka agaknya tidak beralasan adanya larangan itu. Adakah
yang berwewenang melarang seorang membaca atau mengucapkan
dan menghayati satu ayat Al-Quran?

Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan,
Al-Quran memperkenalkan satu bentuk redaksi, dimana lawan
bicara memahaminya sesuai dengan pandangan atau
keyakinannya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh
pengucapnya. Karena, si pengucap sendiri mengucapkan dan
memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan dan
keyakinannya. Salah satu contoh yang dikemukakan adalah
ayat-ayat yang tercantum dalam QS 34:24-25. Kalaupun
non-Muslim memahami ucapan "Selamat Natal" sesuai dengan
keyakinannya, maka biarlah demikian, karena Muslim yang
memahami akidahnya akan mengucapkannya sesuai dengan garis
keyakinannya. Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka
interaksi sosial.

Tidak kelirulah, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan itu,
bila ia ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan ternodai
akidahnya. Tetapi, tidak juga salah mereka yang
membolehkannya, selama pengucapnya bersikap arif bijaksana
dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal
tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.

Dostojeivsky (1821-1881), pengarang Rusia kenamaan, pernah
berimajinasi tentang kedatangan kembali Al-Masih. Sebagian
umat Islam pun percaya akan kedatangannya kembali. Terlepas
dari penilaian terhadap imajinasi dan kepercayaan itu, kita
dapat memastikan bahwa jika benar beliau datang, seluruh
umat berkewajiban menyambut dan mendukungnya, dan pada saat
kehadirannya itu pasti banyak hal yang akan beliau luruskan.
Bukan saja sikap dan ucapan umatnya, tetapi juga sikap dan
ucapan umat Muhammad saw. Salam sejahtera semoga tercurah
kepada beliau, pada hari Natalnya, hari wafat dan hari
kebangkitannya nanti.

Jumat, 21 Desember 2007

HABIB PALSU, KEJAR “NABI PALSU”

Jumat, 7 Desember 2007 Pk. 13.30 waktu Bogor, Mesjid Al-Fadl (Mesjid Ahmadiyah) di Jl. Perintis Kemerdekaan 34 Kebon Jahe Bogor, di datangi Habib Abdurrahman Assegaf ALIAS ABDUL HARIS UMARELLA bin ISMAIL UMARELLA Putera TULEHU Pulau AMBON

ICRP info. 5 orang bersorban mendatangi halaman mesjid Al-Fadl di pinggir Jalan Perintis Kemerdekaan, di komandani oleh “Habib” Abdurrahman Assegaf alias Abdul Haris Umarella bin Ismail Umarella. Sementara puluhan anggotanya yang mengaku GUII tertahan oleh barisan polisi anti huru hara yang berjarak 200 meter dari lokasi Mesjid. Abdul Haris Umarella meminta ijin kepada polisi untuk mendatangi Mesjid Al-Fadl dengan alasan mau berdialog, polisi mengijinkan hanya 5 orang saja yang mewakili dan boleh memasuki wilayah Mesjid. Dengan berjalan gagah, Abdul Haris Umarella datang
mendekati pagar Mesjid yang disambut dengan orasi Mahasiswa Ciputat yang menamakan FORMACI anti kekerasan.

Abdul Haris Umarella terkejut melihat pagar Mesjid terkunci dan terheran-heran atas sambutan yang diberikan oleh mahasiswa, dengan bersusah payah Abdul Haris meminta mahasiswa untuk diam dan berkali-kali menaikan tongkatnya keatas, namun tidak didengarkan oleh barisan mahasiswa, suasana menjadi sedikit tegang dan mencekam ketika salah satu korlap mahasiswa terpancing emosi, terjadilah dialog yang saling menuding. Abdul Haris Umarella menuduh mahasisa adalah antek-antek JIL, dengan spontan dan lantang mahasiswa mengaku “Ya! saya aktivis JIL” langsung disambut ejekan sambil tertawa terbahak-bahak Haris CS. (rekaman tersedia)

Selama 30 menit, Haris CS di depan pintu pagar Mesjid, sempat pula Haris CS menginjak-injak Buku (yang mereka meng-infokan adalah kitab yang di imani oleh Jemaat Ahmadiyah) yang sebenarnya Kitab tersebut adalah kumpulan cerita dan mimpi dari Mirza Ghulam Ahmad. Namun para Jemaat Ahmadiyah yang sebagian berada di dalam Mesjid, tidak terpancing, bahkan menertawakan aksi tersebut.

Ini kali ke 2 Abdul Haris Umarella tidak berhasil untuk menutup dan merusak Mesjid Ahmadiyah, sebelumnya terjadi di Jl. Balik Papan I No. 10 pada tanggal 23 Nopember 2007 yang lalu. Kekecewaan Abdul Haris semakin bertambah ketika seorang Jemaat Ahmadiyah menyebut dengan lantang nama ASLInya “Abdul Haris Umarella…. umarellla. …umarella. ..” dengan melunak Haris bertanya “Bapak dari mana?” di Jawab “Saya?….Ahmadiyah ” “oh…..bapak Ahmadiyah?” Lalu Haris kembali bicara “mana nich orang Ahmadiyah, saya datang untuk berdialog… .kok pagar dikunci, ini apa ini, saya datang kesini untuk mengajak bertaubat, tidak ada Nabi selain Nabi Muhammad SAW, selain itu PALSU, kami mengejar nabi palsu…?” sambil terbengong-bengong tangannya memegang pagar besi Mesjid.

Diiringi rintikan hujan, Abdul Haris Umarella akhirnya pergi dengan kekesalan dan kekecewaan, kembali bergabung dengan anggotanya yang terdiri dari anak-anak usia 13 tahun keatas. Sempat melakukan orasi dan kembali berputar disekitar Mesjid dengan kendaraannya Opel Blazer(kendaraan yang sama yang dia gunakan saat mendatangi Mesjid Al-Hidayah di Jl. Balik Papan I) dengan meneriakkan nama Tuhan.

Abdul Haris Umarella meninggalka mesjid disambut rintikan air hujan, alam sepertinya memahami bisikan hatinya, bersedih karena malu identitasnya diketahui, marah karena misinya yang ke 2 kalinya gagal. Kali ini Haris berhadapan dengan sekelompok mahasiswa yang mendukung kebebasan beragama dan berkeyakinan, menolak kekerasan dan itimidasi dan AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan)

Aneh sekali, nama Tuhan di kumandangkan untuk melakukan tindak kekerasan??? ?…..

Salam,
Ilma (ICRP)

Situasi Kuningan Mencekam

Selasa, 18 Desember 2007 | 14:32 WIB

TEMPO Interaktif, Kuningan: Situasi Kabupaten Kuningan, Jawa Barat
mencekam setelah terjadi bentrokan antara aparat dan massa organisasi
keagamaan yang ingin menyerbut masjid dan jemaah Ahmadiyah di
Manislor, Kuningan pada Selasa (18/12) ini.

Sekitar 10 rumah milik jemaah Ahmadiyah Manislor rusak diamuk massa.
Satu masjid milik jemaah ini yang diincar sejak tadi pagi juga ikut
dirusak. Dalam kejadian ini tiga orang terluka, satu di antaranya
dikabarkan terluka akibat tertusuk.

"Mereka tidak puas karena bupati Kuningan hanya menutup tiga masjid
milik Ahmadiyah," kata Kulman, anggota jemaah Ahmadiyah Manislor
berusia 66 tahun. Massa yang mengatasnamakan agama ini ingin lima
masjid milik jemaah Ahmadiyah ditutup. Aktifitas para jemaah juga
dilarang di Kuningan. ivansyah

Senin, 26 November 2007

KH. Nahduddin Abbas Menghadiri Halal Bihalal Alumni Buntet

Oleh: Redaksi buntetpesantren.com

Forum Silaturahmi Alumni Buntet Pesantren Cirebon (Forsila) se-Jabodetabek mengadakan acara halal bihalal, Ahad, 25 November 2007, bertempat di Aula PMII Ciputat Jakarta. KH. Nahdluddin Abbas (72 th) berkenan hadir sebagai tamu khusus untuk memberikan tausiah dan sekaligus berdialog dengan para alumni sejabodetabek.

Kami sangat senang sekali beliau bisa menghadiri acara ini, sehingga kami bisa bertatap muka langsung dan dapat berdialog dengan sesepuh yang baru. Ujar Zaim Nugroho, salah satu pengurus Forsila.

Forsila sendiri adalah sebuah forum alumni Pondok Buntet Pesantren yang berada di UIN Syarif Hidayatullah. Anggotanya adalah para mahasiswa yang berada di Jabodetabek dan bermarkas di komplek UIN Jakarta. Pada tahun ini mengadakan acara halal bihalal sekaligus menandatangani komitmen bersama antara alumni Pondok Buntet Pesantren dengan BUntet sebagai lembaga, dalam rangka memperkuat ukhuwah Islamiyah, sebagai langkah awal mempersatukan komitment.

Aktivitas Forsila dalam berbagai kesempatan sering bertemu baik dalam kajian-kajian ilmiyah maupun aktivitas sosial lainnya. Hal ini merupakan komitment forsila sebagai wadah para calon generasi santri yang akan terjun di masyarakat. Ujarnya menambahkan.

“Saya dan para orang tua siapaun mengharapkan agar generasi muda apalagi dari POndok Buntet Pesantren agar terus memompa semangat untuk belajar lebih giat lagi terutama yang masih menempuh jenjang pendidikan perguruan tinggi.” kata Kyai yang murah senyum memberi semangat.

Syukur jika pendidikan itu bisa ditempuh hingga mencapai gelar master. Sebab menurut beliau, tantangan ke depan Indonesia membutuhkan generasi yang ahli dalam bidangnya masing-masing. Ujar beliau dalam sesi ceramhanya. Kendala yang biasanya dihadapi oleh para mahasiswa adalah kelangkaan biaya. Maka hal ini jangan dirisaukan. JIka saja terus belajar maka banyak program beasiswa menawarkan. Misalnya dari Inggris banyak perguruan tinggi memberikan beasiswa untuk kuliah di sana. Tambahnya.

Putra keempat KH. Abbas yang telah lama tinggal di London dan kini sudah pensiun ini merasa senang sekali bisa menghadiri acara ini. Dengan dimikian maka ada harapan kedepan di benak anak-anak muda ini untuk terus berjuang dalam menyongsong masa depan.

Beliau pun tidak lupa berpesan agar komitmen dalam akhlaqul karimah agar terus menerus dijaga dalam setiap aktivitas. Sebab buat apa pendidikan tinggi dicapai jika di kemudian hari tidak mampu menampilkan akhlak yang baik. BUkankah Nabi Muhammad Saw diutus salah satu intinya adalah komitmen untuk menegakkan akhlaqul karimah. Ujar beliau mengahiri ceramahnya.

Zaim Nugroho, salah satu pengurus Forsila merasa bersyukur bisa bertemu beliau dalam kapasitsanya sebagai sesepuh Buntet Pesantren. Sehingga kami para alumni baik yang masih kuliah maupun yang telah berkiprah di masyarakat dapat bertemu dan bidialog dengan beliau. Harapan kedepan, Jalinan silaturahmi antara alumni dengan Buntet Pesantren bisa diintensifkan sehingga memberikan sinergi untuk bersama-sama mengamban visi pendidikan pesantren di Indoensia. (MK)

Jumat, 23 November 2007

Merawat Warisan Pluralisme KH. Abdullah Abbas

Oleh : M Zaim Nugroho*



Belum lama ini kita dikagetkan oleh sebuah peristiwa duka dengan wafatnya KH. Abdullah Abbas, tokoh yang menurut Masdar Farid Masudi sebagai penyagga NU. Kita semua bersedih dan berduka atas mangkatnya beliau, karena beliau adalah panutan dan sandaran warga nahdhiyin di seluruh pelosok negeri ini.KH Abdullah Abbas adalah seorang tokoh yang sangat tawadhu dan rendah hati, beliau tidak pernah membedakan tamu tamunya, entah itu dari golongan pejabat atau tukang beca, bahkan beliau tidak pernah memebeda bedakan tamunya darimana agamanya berasal. beliau adalah sosok yang banyak dikagumi banyak orang. .

Kadang kita sering beranggapan bahwa pluralisme adalah sesuatu kata yang bukan berasal dari kosakata kita, kata itu seolah adalah kata dari barat yang harus kita tolak dan kita jauhi samapai samapai MUI mengeluarkan fatwa yang melarang ajaran Pluralisme sebagai sebuah ajaran, padahal Pluralisme adalah keberagaman dari tiap tiap individu atau kelompok.keberagaman itu adalah merupakan fitrah dari Allah. Keberagaman merupakan sesuatu yang tidak bisa kita elakan dari alam dunia ini.

KH. Abdullah Abbas merupakan sosok yang pluralis, sosok kyai yang jarang sekali ditemui didunia pesantren, beliau merupakan kyai yang yang sangat memperjuangkan nilai nilai pluralis,dan bagi beliau pluralis sejalan dengan ajaran agama Islam. terbukti beliau sangat menghormati kaum minoritas seperti etis Cina dan kelompok Lia Aminudin (komunitas Lia Eden). Lebih jauh beliau pernah melakukan doa bersama dengan kelompok Lia Eden untuk keselamatan bangsa Indonesia.

Ketika Bom Bali II menggetarkan dan meluluhlantahkan pulau dewata, beliau tidak segan untuk pergi ke Bali dan mengucapkan belasungkawa kepada keluarga korban serta mendoakan para korban bersama pemuka agama agama lain. Beliau juga mengutuk keras peristiwa laknat itu dan mengatakan bahwa peristiwa peledakan bom Bali tersebut bukan merupakan ajaran Islam dan Islam sama sekalai tidak mengajarkan ummatnya untuk berbuat seperti itu. Karena ajaran islam adalah ajaran yang rahmatan lil alamin.

Sifat seperti itulah yang mungkin jarang sekali ditemui oleh sosok ulama sekarang, dan dengan sikap itu pulalah orang sangat mengagumi sosok beliau, beliau adalah tempat wewadul umat manusia dari tukang beca samapai Menteri, dari para pengangguran samapai para konglomerat, dari kaum mayoritas sampai kaum minorotas. sosok beliau adalah pengayom bagi umat manusia, beliau tidak pernah melihat manusia sebagai oposisi biner, beliau justru memandang manusia sebagai subjek yang utuh untuk dihormati.

Kita sebagai umat manusia sangat kehilangan sosok pengayom seperti beliau, ditengah makin maraknya isu syariat Islam dan “pendongkelan” pancasila oleh kelompok fundamental yang ingin mengantikanya dengan islam sebagai ideologi dan beberapa kekerasan yang mengatasnamakan Agama kita justru kehilangan sosok beliau. Sosok beliau adalah sosok yang memandang bahwa islam merupakan sebuah jalan hidup untuk diamalkan bukan untuk diperjuangkan sebagai ideologi.

KH Abdullah Abbas adalah mursyid Thariqoh Syathoriyah yang sangat tawadhu, sangat rendah hati beliau itu merupakan modal dasar bagi beliau untuk menunjukan bahwa islam merupakan sebuah jalan bagi umat manusia untuk samapai kepada Tuhanya, maka tidak heran jika ada yang menyebut bahwa beliau adalah tokoh penyagga NU.

KH Abdullah Abbas kini telah tiada, beliau kini tidak lagi bersama kita, tapi semangat beliau akan tetap ada bersama kita yaitu semangat menjaga persatuan dan keberagaman dalam bingkai Islam Indonesia yang sangat menghormati keberagaman. Mari kita jaga warisan serta amalan yang terbesar ini.


*Penulis adalah pegiat di Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI) dan aktivis Jaringan Islam Kampus (JARIK)

MENDIAGNOSA KEKERASAN MASSA

Oleh : M. Zaim Nugroho*

Belum lama kita beranjak dari bulan ramadhan, bulan yang penuh kasih sayang dimana kita sebagai umat manusia dituntut untuk memanifestasikan rasa kasih sayang itu untuk peduli dan saling menghormati terhadap sesama umat manusia, kekerasan Massa yang belum lama ini di Poso, yang menimbulkan korban adalah sebuah kekerasan Massa yang terjadi akibat konflik ditimbulkan atas nama Agama, Agama yang sejatinya dituntut untuk membawa umat manusia menjadi pengayom bagi kehidupan manusia dirusak karena masalah fanatisme sempit dan buta, mereka menggap kelompok lain sebagai sesuatu yang layak untuk dimusnahkan. Untuk itu pulalah saya akan sedikit mendiagnosa kekerasan Massa dalam sudut pandang Ilmiah.

Di dalam bukunya memahami negatifitas “ diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma, F.Budi Hardiman mempertanyakan Mengapa manusia melakukan kekerasan kepada sesamanya? Pertanyaan itu akan muncul karena timbul keheranan dari diri kita. Keheranan adalah sebuah persaan yang timbul dari diri kita ketika menghadapi sesuatu yang tidak lazim. Bayangkan bila di dalam masyarakat kita kekerasan dianggap sesuatu yang lazim. Pasti tak ada keheranan yang muncul atasnya, akal pun tertidur dan secara bersamaan dengan itu kekerasan tidak pernah dipersoalkan.

Kekerasan massa seperti kerusuhan ,huru hara, pengeroyokan, penjarahan, pembantaian, pemberontakan, revolusi dan seterusnya meruapakan fenomena yang sangat diminati tidak hanya oleh para politikus, melainkan juga para sejarawan, sosiolog, filusuf, psikolog, sastrawan dan kritikus kebudayaan. Kekerasan sering meletus dalam sejarah umat manusia. Pemberontakan budak dizaman Romawi kuno, peralawanan rakyat Prancis melawan Raja Lois ke IV adalah peristiwa kekerasan massa yang dicatat didalam sejarah dunia. Kekerasan memang tidak hanaya terajadi di dunia Eropa, tetapi sering juga terjadi di Dunia ke tiaga. Indonesia adalah salah satu contoh negara yang mempunyai tradisi kekerasan massa yang cukup rutin .Pembunuhan masal di tahun 60-an terhadap anggota PKI, tragedi Priok dan masih basah dalam ingatan bayak orang kerusuhan yang berbau SARA pada tanggal 13-14 mei 1998 belum juga kekerasan yang terjadi di Sampit dan masih banyak kekerasan lainya.

Yang jadi persoalan bagi kita adalah mengapa gempa sosial itu bisa terjadi? bagaimana kita bisa menerangkan kondisi kondisi kekerasan massa semacam itu untuk menemukan “ struktur struktur “ tertentu dari peristiwa yang tampaknya tak tersruktur itu.? Untuk itu saya akan mengutip beberapa pandangan para tokoh yang menyumbangkan teori teorinya tentang kekerasan Massa yang begitu destruktif.

Massa “ istilah ini banayak digunakan dalam banyak arti dan sering tidak tepat karena mengacu pada berbagai fenomena. Dalam ranah ini saya hanya akan mengungkapkan istilah “massa” yang berarti massa yang tidak mengindahkan norma norma sosial yang berlaku sehari hari. Massa yang berkaitan hanya pada situasi khusus yang sifatnya Abnormal .Gustave le Bone ,bapak psikologi massa, mengatakan bahwa massa itu bodoh, mudah diprovokasi, bersifat rasistits atau singkat kata irrasoanal. Massa menurutnya terkungkung dalam batas batas ketidak sadaran, tunduk pada segala pengaruh, mudah diombang ambing oleh emosi dan mudah percaya. Di dalam massa individu individu yang berbeda memiliki ” dorongan -dorangan, nafsu-nafsu dan perasaan-perasaan yang sangat mirip “ dan bertingkah laku sama. Sigmund Freud ( bapak psikoanalisa ) juga mengatakan situasi massa adalah “ regresi ke aktiviatas psikis yang primitif…bangakitnya kembali gerobolan purba dalam diri kita,” teori –tori itu mungkin akan berlainan dengan apa yang dikatakan toori Marxis yang lebih melihat massa sebagai sebuah massa yang sadar kelas. Teori Marxis tidak memandang fenomena massa sebagai ledakan emosi atau pelampiasan naluri naluri biadab,karena aksi massa yang revolusioner berasal dari konflik kepentingan kelas kelas atau ketidak samaan struktural. Artinya mereka peserta aksi massa tidak bertindak melulu karena emosi, melainkan “strategis” :mereka mengikuti kepentingan-kepentingan kelas mereka yang bersifat objektif. Atau dengan kata lain aksi massa mereka bersifat rasional.

Manusia yang ikut serta dalam aksi massa tidak melulu digerakan oleh kemarahan, frustasi, agresi, kebencian atau ketidakpuasan seperti binatang buas yang lapar. Mereka juga tidak murni mengikuti orientasi strategis yang melekat pada kepentingan kepentingan mereka. Aksi massa bukanlah “ prilaku kolektif ” , juga bukan “ akibat logis “ dari mekanisme struktural. Menurut teori tindakan kolektif misalnya yang mendekati akis massa sebagai ” tindakan”. Disini perilaku dibedakan secara tegas dari tindakan : perilaku berkenaan dengan spontanitas naluriah, sementara tindakan menyangkut kesadaran manusiawi. Dalam keadaan keadaan tertentu orang berkumpul dan bertindak bersama diluar kerangka institusional itu untuk mengubah sesuatu yang secara individual tak bisa mereka lakukan.

Dari teori teori diatas dapat dilihat kekerasan massa seperti kerusuhan, penjaharan, konflik etnis, agama dan sebagainya adalah prilaku yang sama sekali irrasional, yang tidak mencerminkan rasa kemanusian, dalam ranah moderen sekarang konflik itu terus terjadi bahkan kalu dibiarkan akan semakin menjadi seiring dengan rasa dendam dan rasa akan diri dan kelompok yang merasa paling benar terus terpelihara, krisis identitas itu juga akan semakin tumbuh seiring dengan rasa ego akan diri yang juga bisa meletus sewaktu waktu menjadi kekerasan massa.

Dalam tulisan ini juga saya ingin mengatakan dalam diskursus epistemologi kekerasan massa dipandang sebagai sesuatu yang tidak hanya regresi atau amarah suatu kelompok belaka tetapi lebih jauh lagi merupakan sebuah kekacauan dan ketidakstabilan norma norma sosial, dimana sebuah tatanan didobrak secara paksa dengan alasan dendam atau dengan sengaja ingin menghancurkan tatanan sosial tersebut.

*Penulis adalah masasiswa UIN Syarif hidayatullah, Bergiat di FORMACI.(Forum Mahasiswa Ciputat) dan Aktifis JARIK (Jaringan Islam Kampis)

**tulisan ini dibuat sekitar tahun lalu ketika tragedi di Tanah runto, Poso bergolak

Minggu, 17 Juni 2007

Pancasila

Merawat Pancasila dari Tangan jahil

Oleh : M Zaim Nugroho*

Belum lama ini kita telah melewati hari kelahiran Pancasila, Kelahiran yang dibidani Sukarno ini menjadi tonggak ideologi bangsa Indonesia dalam menemu-ciptakan sebuah tatanan bangsa yang adil, sejatra serta berketuhanan. Sebuah Ideologi yang tidak ada duanya di dunia ini, dimana konsep ketuhanan menjadi spirit dalam dasar negara tetapi mensicayakan pemisahan antara wilayah agama dan negara.

Pancasila, kata Alamsyah Ratu Perwira Negara merupakan hadiah terbesar ummat Islam kepada bangsa Indonesia, tampa hadiah itu, Indonesia tidak seperti yang kita kenal sekarang. Ia mungkin menjadi negara Teokrasi yang bedasarkan salah satu agama tertentu saja. Kita juga patut besyukur atas “hadiah” itu dimana para kalangan Islam waktu itu bukan saja menerima tawaran Sukarno tetapi juga mengubah urutan Pancasila dan, terutama, menambahkan “Yang Maha Esa” dalam sila Ketuhanan serta menarik frase kunci “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”

Seiring waktu berjalan dan pergantian Rezim antara Orde Lama kepada Orde Baru memulai babak baru dalam Ideologi Pancasila. Orde baru memonopoli penafsiran Pancasila melalui indoktrinasi kepada seluruh warga negara dengan segala profesi dan usia serta pendidikan dengan penataran P4. pada massa ini Pancasila diubah menjadi pisau bermata seribu yang dihunus penguasa untuk menikam siapa saja yang divonis melanggarnya, termasuk didalamnya adalah gerakan Islam Radikal seperti tragedi Tanjung Priyuk dan sebagainya.

Pancasila pada era reformasi diuji kembali kesaktianya setelah sekian lama dijadikan alat penguasa untuk melawan para pengkritiknya, dan, ketika pintu keterbukaan mulai di buka dan kebebasan yang dulu tersumbat kini mulai terkikis bersama derasnya desakan Reformasi yang membawa angin segar, angin segar yang memungkinkan siapa saja atau golongan apa saja untuk berekspresi maupun berserikat dan berpendapat yang didalamnya juga muncul gerakan yang dulu direpresi oleh pemerintah Orde Baru contoh saja gerakan Islam Radikal seperti MMI (majelis Mujahidin Islam) atau gerakan yang di impor dari Luar Negri semisal HTI (hizbut Tahrir Indonesia) yang jelas jelas ingin merubah Pancasila dan digantikan dengan Islam sebagai Idelogi Bangsa

Pancasila kini mulai di usik oleh tangan tangan jahil karena berbagai macam alasan, para penentangnya kini mengajukan konsep tandingan dan melancarkan tindakan tindakan anarkis yang akan merobek perekat bangsa. Perda Syariah yang mengandung bias Agama seakan tak bisa kita biarkan begitu saja, ditambah lagi beberapa tahun yang lalu dimana marak sekali penyerangan terhadap kelompok agama minoritas seakan menambah daftar panjang kekerasan terhadap agama yang sebenarnya dijamin oleh Pancasia dan Undang Undang dasar negara

Perawatan pancasila pada era reformasi ini membutuhkan ekstra tenaga yang kuat dikarenakan demokrasi yang mengharuskan kita untuk lebih terbuka dan toleran, ditambah lagi gerakan gerakan yang dengan sengaja dan terbuka ingin mengganti Ideologi bangsa dengan yang lain. Perawatan pancasila itu penting karena hanya dengan ideologi pancasilalah yang bisa menjadi perekat bangsa. Kebinekaan kita dalam lanskap kesatuan dan persatuan bangsa merupakan modal dasar dalam mewujudkan kesejatraan yang berketuhanan dimasa depan dengan mengedepankan prinsip prisip toleransi dan kebebasan yang bertanggung jawab. Disamping itu juga Pancasila adalah idelogi terbuka, dimana Pemerintah hanya salah satu, bukan satu satunya penafsir. Dengan bebas tafsir itu semua peserta memperkaya Pancasila dan membuka kemungkinan kemuingkinan baru yang bergerak sama dinamismenya dengan perkembangan masayarakat sendiri.

Peranan Pancasila kembali di pertanyakan oleh beberapa kalangan semisal dalam tulisan Azumardi Azra bebrarapa tahun lalu di berbagai media, baginya, Pancasila mesti dipikir ulang dan sudah selayaknya di revitalisasi seirng alam demokrasi yang kian terbuka, meskipun pada dasarnya Azra tidak menginkan pergantaian Ideologi pancasila dengan yang lain.

Merawat Pancasila juga bukan pekerjaan yang mudah, sebab Pancasila adalah ideologi terbuka yang bisa ditafsirkan oleh siapa saja, berbeda denga era sebelumnya dimana Orde baru memonopoli Tafsir atas Pancasila. Di era ini Pancasila menjadi pasar tafsir dimana Agama diharapkan sekali sumbanganya, sebagaimana yang terjadi pada saat kelahiran Pancasila sebagai dasar Negara. Mereka semua bisa menyumbangkan ajaran Agama masing masing sebagai nilai, bukan sebagai hukum.

Penulis adalah Mahasiswa UIN JKT, pegiat di Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI) dan Aktivis Jaringan Islam Kampus (JARIK)

Kamis, 14 Juni 2007

Pesantren

Pesantren Diantara Himpitan Globalisasi

Oleh : M.Zaim Nugroho*

Globalisasi dan Modernisasi adalah dua sisi dari satu mata uang, Ia juga menawarkan sebuah pilihan yang ambivalen, satu sisi berakah kalau mamang kita siap, dan mungkin juga membawa petaka kalau kita gagap. Globalisasi juga menawarkan berbagai mancam pilihan bisa menguntungkan juga membahayakan. Sebab didalam globalisasi terjadi kompetisi, bukan hanya yang kuat dengan yang kuat saja yang berkopetensi tetapi juga yang kuat dan yang lemah dituntut pula berkopetensi.Globalisasi adalah sebuah keniscayaan yang nyata yang mau tak mau akan kita hadapi bersama, Ia tak terelakkan (inevitable). Globalisasi pun mewarkan sejuata mimpi, harapan, serta kemudahan dalam mengakses informasi. Apa dan bagaimana Globalisasi bisa tercipta tercipta dan bagaima nasib pesantren di era globalisasi ini?

Globalisasi lebih dari sekadar lonjakan volume lalu lintas ekspor dan impor. Ia menyangkut perubahan mendalam pada cara mengalami hidup. Sebagaimana komunikasi Jakarta-Cirebon kini bisa dilakukan dalam sekejap, begitu pula komunikasi antara Makkah-Jakarta tidak lagi membutuhkan waktu berbulan. Dan itu terjadi pada migrasi, transportasi, media, perdagangan, dan sebagainya. Maka dunia tidak lagi sunyi karena jarak waktu ruang, tetapi riuh rendah dengan lalu lintas pertukaran barang, gagasan, perasaan, sampai perkara-perkara maya (virtual). Sebagai arena tindakan, dunia kian menjadi satu unit. Sebagai rentang wawasan, dunia kian menjadi satu arena.

Pesantren adalah cara didik yang mengkhususkan dalam hal agama dan masih melestarikan tradisi lokal,(dalam tulisan ini yang saya maksud adalah pesantren salaf). Dalam era globalisasi ini sejuta kemudahan tercipta, seakan akan kita tidak perlu lagi duduk dan mengaji kitab kuning sambil mendengarkan Kyai berujar, tapi cukup mendownload di Internet (atau sudah dalam bentuk program CD yang bisa diakses lewat komputer) maka Kitab yang kita inginkan akan segera muncul beserta terjemahanya dengan lengkap. apalagi kalau yang kita akses adalah kitab Tafsir maka cukup dengan menuliskan ayat apa yang kita maksud maka munculah Ayat itu lengkap dengan terjemahan dan tafsir dari para Ulama dahulu sampai Ulama kontemporer.

Memang dalam tradisi salaf ada istilah ngalap berkah, atau mencari sanad, tapi di era globalisasi ini apakah tradisi ini masih tetap bisa di pertahankan? Mungkin orang modern akan berkata bukankan itu akan memerlukan banyak waktu dan dinggap tidak efisien? Dalam analisis Weber misalnya, salah satu cara pandang masyrakat moderen adalah cara pandang Instrumental, artinya tindakan individu melulu menggunakan untung rugi, efisiensi, atau lebih memikirkan tujuan dari pada cara yang didapat.

Kalau kita melihat realitas di perkotaan menjadi santri kini tidak harus diidentikkan dengan sarung dan mengaji di langgar saja. Sekedar contoh, para santri Pesantren Darunnajah di Ulujami Jakarta Selatan ternyata telah akrab dengan e-mail karena di dalam pesantren tersebut ada sebuah warnet yang dipergunakan bergantian antara santri pria dan wanita. Ada pula pesantren Annida di Bekasi, yang memang telah benar-benar memberikan materi pendidikan e-mail dan Internet kepada para santri-santrinya.

Kalau itu semua terjadi mungkinkah pesantren salaf akan tetap eksis diantara himpitan modernitas yang tentu saja melahirkan pikikiran yang lebih mementingkan tujuan dari pada cara tersebut.Memang analogi yang saya tawarkan cenderung mengkongklusikan antara realitas perkotan dan pesantren yang ada di pedesaan. Tapi sampai kapan kita berdiam diri dan acuh terhadap permasalahan modernisasi yang sebentar lagi akan memasuki rumah dan pikiran kita.

Sebuah momentum globalisasi telah didentumkan oleh negara dunia pertama,yang ini jelas akan memepengaruhi sendi sendi kehidupan keberagaman kita dimana akses informasi yang begitu cepat akan sedikit demi sedikit merubah konstruksi paradigma kita dan lambat laun akan digantikan oleh paradigma baru, pesantren yang ghalibnya merupakan palang pintu pelestarian tradisi akan segera diuji kekokohanya oleh yang namanya globalsasi.

Ada baiknya kalau pesantren bijak menghadapi masalah ini, kalau pesantren serta merta menolak globalisasi dengan melestarikan kostruksi lama dan tidak mau melihat sesuatu yang baru sangat jelas ini akan merugikan pesantren di kemudian hari, karena orang moderen sebagai mana saya sebutkan diatas lebih memenitingkan nilai nilai instrumental.

Meninggalkan tradisi dan konstruksi lama bagi pesantren juga menurut saya keliru,solah olah kita melupakan identitas kita dan sejarah kita yang tentu juga kaya akan makna dan simbol simbol luhur dan sangat tidak bijak juga kalau mengatakan sesuatu yang lama itu buruk,kolot,ketinggalan zaman dan sebagainya. Menurut saya, pesantren akan lebih bijak kalau pesantren menggunakan kaidah Ushul Fiqih ini

Al muhafadhotu alaa qodimi shalih wal akhdu bi jadidil ashlah.

melestarikan nilai nilai lama yang baik dan menggali nilai nilai baru yang lebih baik.

Wallahu a’lam......

*. Penulis adalah Alumni pondok Buntet pesatren,Mahasiswa UIN Syarif hidayatullah jakarta, bergiat di Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI) dan aktivis Jaringan Islam Kampus (JARIK)