Kamis, 14 Juni 2007

Pesantren

Pesantren Diantara Himpitan Globalisasi

Oleh : M.Zaim Nugroho*

Globalisasi dan Modernisasi adalah dua sisi dari satu mata uang, Ia juga menawarkan sebuah pilihan yang ambivalen, satu sisi berakah kalau mamang kita siap, dan mungkin juga membawa petaka kalau kita gagap. Globalisasi juga menawarkan berbagai mancam pilihan bisa menguntungkan juga membahayakan. Sebab didalam globalisasi terjadi kompetisi, bukan hanya yang kuat dengan yang kuat saja yang berkopetensi tetapi juga yang kuat dan yang lemah dituntut pula berkopetensi.Globalisasi adalah sebuah keniscayaan yang nyata yang mau tak mau akan kita hadapi bersama, Ia tak terelakkan (inevitable). Globalisasi pun mewarkan sejuata mimpi, harapan, serta kemudahan dalam mengakses informasi. Apa dan bagaimana Globalisasi bisa tercipta tercipta dan bagaima nasib pesantren di era globalisasi ini?

Globalisasi lebih dari sekadar lonjakan volume lalu lintas ekspor dan impor. Ia menyangkut perubahan mendalam pada cara mengalami hidup. Sebagaimana komunikasi Jakarta-Cirebon kini bisa dilakukan dalam sekejap, begitu pula komunikasi antara Makkah-Jakarta tidak lagi membutuhkan waktu berbulan. Dan itu terjadi pada migrasi, transportasi, media, perdagangan, dan sebagainya. Maka dunia tidak lagi sunyi karena jarak waktu ruang, tetapi riuh rendah dengan lalu lintas pertukaran barang, gagasan, perasaan, sampai perkara-perkara maya (virtual). Sebagai arena tindakan, dunia kian menjadi satu unit. Sebagai rentang wawasan, dunia kian menjadi satu arena.

Pesantren adalah cara didik yang mengkhususkan dalam hal agama dan masih melestarikan tradisi lokal,(dalam tulisan ini yang saya maksud adalah pesantren salaf). Dalam era globalisasi ini sejuta kemudahan tercipta, seakan akan kita tidak perlu lagi duduk dan mengaji kitab kuning sambil mendengarkan Kyai berujar, tapi cukup mendownload di Internet (atau sudah dalam bentuk program CD yang bisa diakses lewat komputer) maka Kitab yang kita inginkan akan segera muncul beserta terjemahanya dengan lengkap. apalagi kalau yang kita akses adalah kitab Tafsir maka cukup dengan menuliskan ayat apa yang kita maksud maka munculah Ayat itu lengkap dengan terjemahan dan tafsir dari para Ulama dahulu sampai Ulama kontemporer.

Memang dalam tradisi salaf ada istilah ngalap berkah, atau mencari sanad, tapi di era globalisasi ini apakah tradisi ini masih tetap bisa di pertahankan? Mungkin orang modern akan berkata bukankan itu akan memerlukan banyak waktu dan dinggap tidak efisien? Dalam analisis Weber misalnya, salah satu cara pandang masyrakat moderen adalah cara pandang Instrumental, artinya tindakan individu melulu menggunakan untung rugi, efisiensi, atau lebih memikirkan tujuan dari pada cara yang didapat.

Kalau kita melihat realitas di perkotaan menjadi santri kini tidak harus diidentikkan dengan sarung dan mengaji di langgar saja. Sekedar contoh, para santri Pesantren Darunnajah di Ulujami Jakarta Selatan ternyata telah akrab dengan e-mail karena di dalam pesantren tersebut ada sebuah warnet yang dipergunakan bergantian antara santri pria dan wanita. Ada pula pesantren Annida di Bekasi, yang memang telah benar-benar memberikan materi pendidikan e-mail dan Internet kepada para santri-santrinya.

Kalau itu semua terjadi mungkinkah pesantren salaf akan tetap eksis diantara himpitan modernitas yang tentu saja melahirkan pikikiran yang lebih mementingkan tujuan dari pada cara tersebut.Memang analogi yang saya tawarkan cenderung mengkongklusikan antara realitas perkotan dan pesantren yang ada di pedesaan. Tapi sampai kapan kita berdiam diri dan acuh terhadap permasalahan modernisasi yang sebentar lagi akan memasuki rumah dan pikiran kita.

Sebuah momentum globalisasi telah didentumkan oleh negara dunia pertama,yang ini jelas akan memepengaruhi sendi sendi kehidupan keberagaman kita dimana akses informasi yang begitu cepat akan sedikit demi sedikit merubah konstruksi paradigma kita dan lambat laun akan digantikan oleh paradigma baru, pesantren yang ghalibnya merupakan palang pintu pelestarian tradisi akan segera diuji kekokohanya oleh yang namanya globalsasi.

Ada baiknya kalau pesantren bijak menghadapi masalah ini, kalau pesantren serta merta menolak globalisasi dengan melestarikan kostruksi lama dan tidak mau melihat sesuatu yang baru sangat jelas ini akan merugikan pesantren di kemudian hari, karena orang moderen sebagai mana saya sebutkan diatas lebih memenitingkan nilai nilai instrumental.

Meninggalkan tradisi dan konstruksi lama bagi pesantren juga menurut saya keliru,solah olah kita melupakan identitas kita dan sejarah kita yang tentu juga kaya akan makna dan simbol simbol luhur dan sangat tidak bijak juga kalau mengatakan sesuatu yang lama itu buruk,kolot,ketinggalan zaman dan sebagainya. Menurut saya, pesantren akan lebih bijak kalau pesantren menggunakan kaidah Ushul Fiqih ini

Al muhafadhotu alaa qodimi shalih wal akhdu bi jadidil ashlah.

melestarikan nilai nilai lama yang baik dan menggali nilai nilai baru yang lebih baik.

Wallahu a’lam......

*. Penulis adalah Alumni pondok Buntet pesatren,Mahasiswa UIN Syarif hidayatullah jakarta, bergiat di Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI) dan aktivis Jaringan Islam Kampus (JARIK)

Tidak ada komentar: