Minggu, 30 Desember 2007

Nota Buat Adian Husaini

Oleh Ruzbihan Hamazani

Adian Husaini adalah salah satu penulis yang sangat digemari banyak
kalangan Islam. Ia menulis rutin setiap minggu di Majalah
Hidayatullah. Kolom-kolom mingguannya dibahas di Radio Dakta. Sebagai
bekas wartawan, ia memang memiliki ketrampilan menulis yang cukup
baik, enak dibaca, dan renyah. Kelemahan Adian hanya satu: sering
memeragakan logika yang janggal. Ala kulli hal, salut untuk Adian Husaini.

Baru-baru ini, ia menulis sebuah kolom di situs Hidayatullah,
"Mitos-Mitos tentang Perayaan Natal Bersama". Tulisan ini beredar di
banyak milis. Dalam tulisannya itu, ia mengkritik Prof. Din Syamsuddin
yang menghadiri Perayaan Natal Bersama. Tulisan pendek ini ingin
sekedar memberikan catatan pada kolomnya itu.

Tokoh kerukunan?

Saya ingin mulai dengan hal yang sederhana. Adian mengenalkan dirinya
di ujung tulisan sebagai Wakil Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama
MUI Pusat. Saya berteriak dalam hati: What? Bagaimana orang seperti
Adian menjadi seorang pejabat penting di MUI pusat untuk mengurus soal
kerukunan umat beragama? Apakah saya tak salah? Apakah kata
"kerukunan" mempunyai arti lain di sini? Kata "kerukunan" berasal dari
akar kata "rukun" yang artinya kira-kira laras, harmonis, serasi,
damai, dsb. Kata rukun berlawanan dengan sejumlah kata lain: tengkar,
cekcok, curiga, dst.

Setahu saya, tulisan-tulisan Adian Husaini selama ini penuh dengan
rasa curiga pada agama lain, terutama Kristen, nyinyir pada
kelompok-kelompok Islam yang memperjuangkan dialog antaragama dan
pluralisme, dst. Dia dulu juga pernah menjadi salah satu pengurus
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), lembaga Islam yang kita kenal
membenci orang Kristen, dan selalu dengan mudah menuduh pihak "lawan
debat" dengan istilah antek Yahudi (seperti terjadi pada Cak Nur).
Bagaimana orang dengan rekam jejak seperti ini diserahi tugas untuk
mengurus kerukunan antar umat beragama? Apakah ini tidak sama dengan
meminta seorang koruptor menjadi anggota KPK? Apakah mungkin sapu
kotor membersihkan lantai? Bukankah faqid al-shai' la yu'thihi, kata
pepatah Arab (orang yang tak punya sesuatu, tak akan bisa memberikan
sesuatu itu)?

Nada tulisan Adian soal mitos-mitos perayaan Natal bersama itu
sendiri, seperti anda bisa baca, kuat sekali diwarnai dengan nada
eksklusivisme, curiga pada kelompok lain, dan sama sekali antidialog.

Jika MUI memang benar-benar memiliki komitmen untuk membangun
kerukunan antaragama di Indonesia, tampaknya lembaga itu perlu
berpikir ulang untuk mempertahankan Adian Husaini dalam komisi
kerukunan tersebut. Alih-alih memperjuangkan kerukunan, orang seperti
Adian ini hanya akan mempertahankan kecurigaan dan kebencian. Kecuali
jika MUI memang niatnya sejak awal adalah mendirikan Komisi Kecurigaan
Umat Beragama. Jika benar demikian, tentu saya seratus persen
mendukung Adian Husaini bertahan selama-lamanya di sana.

Mitos Adian atau mitos sungguhan?

1.

Adian mengemukakan sejumlah mitos di sekitar perayaan natal bersama
(PNB). Sekarang marilah kita memeriksa satu per satu mitos-mitos yang
dikemukakan oleh Adian.

Pertama, dia mengatakan bahwa ada mitos tentang keharusan mengikuti
PNB. "Mitos ini seperti sudah begitu berurat berakar, bahwa PNB adalah
enak dan perlu," ujarnya. Saya sungguh tak tahu, dari manakah Adian
memetik mitos ini: Apakah dari pohon mangga di belakang rumahnya, atau
dari kebun milik temannya? Tak ada seorang pun mewajibkan ikut
perayaan Natal bersama. Orang boleh ikut, boleh tidak. Tak ada
undang-udang yang mengharuskan, juga tak ada kewajiban sosial untuk
melakukannya. Teman-teman saya yang beragama Kristen sama sekali
mengerti jika saya tak ikut perayaan Natal, karena khawatir dianggap
memaksakan iman. Tetangga saya yang Kristen yang hampir setiap tahun
mengucapkan Selamat Idul Fitri tak pernah meminta "balas jasa" kepada
saya untuk mengucapkan Selamat Natal setiap bulan Desember tiba.

Jadi, dari mana Adian dengan begitu cemerlangnya menemukan mitos ini?
Jika mitos ini benar-benar ada, tentu Adian layak mendapat
pernghargaan yang setinggi-tingginya atas penemuan yang cerdas ini.
Mungkin ia layak dimasukkan di musium rekor Indonesia (MURI). Yang
sungguh menakjubkan, Adian mengatakan bahwa mitos ini telah berurat
berakar dalam masyarakat. Saya tak tahu, masyarakat mana yang sedang
dibicarakan Adian.

Jadi, apa yang sesungguhnya terjadi dalam masyarakat?

Istilah Perayaan Natal Bersama sebetulnya mudah ditelusuri
asal-usulnya. Masyarakat kita mengenal adat-bertetangga yang bentuknya
macam-macam. Kalau anda hidup di desa, adalah hal yang lumrah jika
tetangga anda sedang punya perhelatan, anda diundang untuk datang
dalam acara itu. Adat seperti ini berlaku tanpa mengenal perbedaan
agama. Kalau tetangga saya yang Kristen sedang "mantu" dia akan
mengundang saya. Saat saya mengadakan pertemuan RT di rumah yang
kadang disertai dengan membaca ratib, barzanji atau yasinan, saya juga
akan mengudang tetangga saya yang Kristen itu.

Adat ini yang kemudian diteruskan pada tingkat yang lebih besar lagi.
Saat Idul Fitri, umat Islam mengadakan acara halal bihalal di kantor
atau perusahaan tempat mereka kerja. Tentu tak enak kalau acara ini
hanya dihadiri karyawan yang Muslim saja. Lalu, diundanglah karyawan
lain yang beragama Kristen. Bagus. Rukun. Begitu juga sebaliknya, saat
Natal tiba, karyawan yang Kristen mengadakan natalan. Yang Muslim
diundang pula. Ini berlaku pula untuk agama-agama yang lain.

Kebiasaan ini dilanjutkan pada level kenegaraan. Karena negara kita
bukan hanya milik orang Islam saja, tetapi milik semuanya, maka setiap
ada hari raya agama tertentu, diadakanlah upacara. Ada halal bihalal,
mauludan, rajaban, dst. Ada acara natalan, waisakan, nyepi, imlek,
dst. Tentu sudah selayaknya jika pejabat publik yang menjadi milik
semua bangsa Indonesia datang dalam acara-acara seperti itu. Kalau
presiden dikritik karena mendatangi acara natalan, padahal dia seorang
Muslim, maka hanya ada dua kemungkinan: mungkin si pengkritik itu
adalah orang a-sosial yang tak mengerti adat bertetangga dalam
masyarakat, orang kuper yang hanya tahu dirinya sendiri saja; atau dia
sedang terkena "sihir" ideologi tertentu yang membuatnya berpikir aneh
seperti itu.

2.

Mitos kedua yang disebut oleh Adian adalah bahwa PNB adalah sarana
untuk memupuk kerukunan antar umat beragama. Nada tulisan Adian ingin
menggiring kita untuk percaya bahwa PNB sama sekali tak akan memupuk
kerukunan. Saya tak tahu, apakah Adian juga menghendaki agar kita
percaya bahwa bukan hanya tak memupuk kerukunan, tetapi PNB bisa
menimbulkan pertikaian antar agama? Kalau yang terakhir ini benar,
saya tak tahu lagi, sistem logika mana yang dipakai oleh anggota
Komisi "Kerukunan" ini. Maksud saya tentu kerukunan dalam tanda kutip.

Tentu jalan untuk memupuk kerukunan banyak sekali, antara lain lewat
pertukaran kunjungan saat hari raya. Kalau kita kembali ke contoh
mikro dalam kehidupan sehari-hari, maka saya akan mengatakan bahwa ada
banyak cara yang bisa saya tempuh untuk menjadi tetangga yang baik
bagi tetangga saya yang beragama Kristen, Budha, Konghucu, atau
lainnya. Cara itu meliputi banyak hal. Misalnya: kalau tetangga saya
sedang selamatan untuk promosi jabatan baru, saya akan datang. Kalau
saya mengadakan selamatan walimatus safar untuk pergi haji, dia saya
undang. Begitulah seterusnya.

Ini juga berlaku pada level kenegaraan. Sudah tentu, jika presiden
atau menteri yang beragama Muslim datang dalam acara natalan,
masyarakat Kristen akan merasa lega, sebagaimana saya akan lega jika
melihat tokoh Kristen datang ke acara-acara Islam. Sebagaimana umat
Islam di Amerika merasa senang saat Presiden Bush mengadakan ifthar
atau buka bersama di Gedung Putih, begitu pula umat Kristen di
Indonesia akan merasa senang jika Pak Presiden yang Muslim dan berpeci
datang di acara natalan. Inilah yang dalam studi-studi mengenai
multikulturalisme disebut sebagai "the politics of recognition" ,
politik pengakuan. Apakah kita akan mengatakan kepada Presiden Bush
bahwa anda salah melakukan buka bersama di Gedung Putih, sebab itu
sama saja anda mengakui kebenaran agama Islam? Inikah logika yang
hendak dipakai oleh Pak Wakil Komisi Kerukunan MUI?

Dalam politik pengakuan, simbol dan budaya memainkan peran penting.
Begitu pula Simbol memainkan peran yang sangat penting dalam
masyarakat plural. Karena itu, tak salah, bahkan penting sekali
memainkan simbol untuk memupuk kerukunan antaragama. Salah satu simbol
yang sangat penting di mata masyarakat adalah simbol-simbol yang
berkaitan dengan agama. Upacara-upacara keagamaan memiliki makna yang
penting. Dengan memainkan simbol ini secara tepat, kerukunan dalam
masyarakat bisa dipupuk dan diperkokoh. Ini hal sederhana yang bisa
diketahui oleh semua orang awam. Saya tak tahu, bagaimana seorang
anggota Komisi Kerukunan MUI bisa tak mengerti hal yang simpel seperti
ini.

Adian menyebut bahwa dalam PNB ditegaskan keyakinan Kristen tentang
Yesus sebagai anak Tuhan. Pertanyaan awam yang harus diajukan adalah:
Apakah jika seseorang datang ke perayaan Natal dengan sendirinya
percaya pada doktrin dan akidah Kristen? Saat Presiden Bush mengadakan
buka bersama di Gedung Putih, apakah dia serta merta percaya pada
dasar akidah Islam yaitu tauhid/monoteisme? Saat tetangga saya yang
Kristen datang ke rumah untuk menghadiri acara yasinan, apakah dia
kemudian berubah iman?

Kalau orang Islam takut dengan histeris datang ke perayaan Natal
karena khawatir "tertular" akidah Kristen, ini sungguh mengherankan:
Betapa lemahnya akidah umat Islam? Di mana dakwah ulama selama ini?
Apakah dakwah Islam gagal mencetak Muslim dengan akidah yang kokoh?
Ataukah yang bermasalah sebetulnya para "elit" agama yang tak
mempercayai kualitas iman umat Islam yang sebetulnya tak sekeropos
yang mereka kira?

Adian juga menyebut sejumlah ayat dalam Injil serta dokumen Kristen
tentang keselamatan tunggal melalui Yesus. Apakah Adian lupa bahwa
dalam Islam juga ada doktrin serupa, bahwa agama satu-satunya yang
benar adalah Islam (inna al-dina 'inda 'l-Lahi al-Islam)? Jadi di mana
letak soalnya? Saat orang Kristen datang ke kantor Muhammdiyah atau
PBNU untuk menghadiri acara keagamaan, tentu tidak dengan sendirinya
ia meninggalkan doktrin keselamatan tunggal lewat Yesus dan
mempercayai "keselamatan" lewat Islam. Dia datang sebagai bagian dari
etiket sosial.

Kalau kemudian ia dapat hikmah dari kehadirannya di acara itu,
alhamdulillah. Begitu juga sebaliknya, kalau seorang Muslim datang ke
acara natalan, dan mendapatkan hikmah dari acara di sana, tentu sangat
baik. Bukankah tidak semua hal dalam Kristen salah dalam pandangan
Islam? Banyak sekali ajaran kebenaran dalam agama Kristen. Bukankah
"al-hikmah dhallat al-mu'min, ainama wajadaha akhadzaha"
(kebijaksanaan adalah barang hilang milik seorang beriman; di manapun
ia menjumpainya, sudah selayaknya ia memungutnya) ? Jadi apatah yang
ditakutkan, wahai Adian?

3.

Mitos ketiga: Adian menyebut bahwa dalam PNB, seorang Muslim hanya
menghadiri upacara non-ritual. Menurut Adian, ini adalah mitos.
Seorang yang menghadiri natalan sekaligus menghadiri upacara ibadah
atau misa. Alasan yang dikemukakan Adian sungguh menarik sekali: bahwa
dalam Kristen tak ada beda yang tegas antara aspek ritual dan
non-ritual. Definisi ibadah dalam Kristen berbeda-beda dari satu sekte
ke sekte yang lain.

Harap diketahui, Adian bukanlah pakar mengenai agama Kristen. Jadi,
apa yang ia katakan mengenai agama Kristen tak perlu didengarkan
dengan serius. Kalau kita ingin tahu mengenai agama Kristen dan
batas-batas antara aspek-aspek ritual dan non-ritual dalam acara
natalan, sebaiknya tanya langsung kepada pakar Kristen. Sementara itu,
kita ikuti saja cara berpikir anggota Komisi "Kerukunan" MUI ini.

Adian mengutip pendapat Huston Smith, pakar mengenai perbandingan
agama, seperti berikut ini: "Christianity, is basically a historical
religion. It is founded not in abstract principles, but in concrete
events, actual historical happenings." Saya tak tahu, apa kaitan
antara kutipan ini dengan apa yang sedang ia bicarakan. Kutipan itu
menegaskan bahwa Kristen adalah agama yang bersifat historis, bukan
agama yang ditegakkan atas prinsip-prinsip abstrak. So? Apa kaitannya?
Saya tahu apa yang mau dituju oleh Adian: karena agama Kristen adalah
agama historis, maka dia akan menyesuaikan diri dengan perkembangan
sejarah; tak mengenal doktrin dan ritual yang tetap, selalu berubah.
Kalau benar ini yang dimaksud, saya ragu apakah benar semua hal dalam
Kristen berubah terus. Dalam setiap agama, selalu ada aspek yang
tetap, permanen, dan ada hal yang bisa diubah. Agama yang baik adalah
yang bisa memainkan keseimbangan antara hal-hal yang permanen dan
berubah. Seberapa jauh agama mampu menyesuaikan diri dengan
perkembangan zaman, atau "aggiornamento" dalam istilah Katolik, sangat
menentukan nasib agama itu. Secara umum, makin agama mampu berubah dan
menyesuaikan diri, tanpa kehilangan jati diri tentunya, makin baik.

Yang menarik adalah Adian mengutip dari Prof. Huston Smith, seorang
sarjana yang memiliki simpati luar biasa pada Islam, juga pada
agama-agama yang lain. Buku Smith, "The World's Religion" dipuji di
mana-mana sebagai salah satu buku yang membantu kita memahami dengan
simpatik agama-agama besar di dunia saat ini. Pendekatan Smith dalam
buku itu adalah mencoba mengembangkan simpati pada semua agama, sebab
pada intinya semua agama membawa "benih" yang sama, yakni jalan menuju
kepada yang transenden. Semangat seperti dikembangkan Smith inilah
yang layak dihayati oleh orang-orang yang hendak memupuk kerukunan
antaragama.

Betapa jauhnya semangat Prof. Smith ini dengan nada hampir sebagian
besar tulisan Adian yang apologetik, curiga pada agama lain, curiga
pada wacana pluralisme, dan tak nyaman dengan dialog antaragama.

Yang menarik lagi adalah Adian mengutip tulisan Remi Silado yang
mengkritik ritual natalan. Menurut Remi, tradisi Natal merupakan
kelanjutan dari tradisi pagan dan istiadat kafir. Kita semua tahu,
walau dikenal dengan puisi-puisi mbeling dulu pada dekade 70an, tetapi
Remi tetaplah seorang Kristen yang taat. Dia kritis pada tradisi dalam
Kristen sendiri, tetapi tak kehilangan komitmen pada agama itu. Kritik
atas Natal yang diungkapkan oleh Remi ini sudah diketahui luas oleh
kalangan Kristen sendiri. Pihak Kristen tidak kalang kabut dengan
kritik seperti itu. Betapa bedanya semangat seperti ini dengan
semangat tulisan-tulisan Adian selama ini yang apologetik dan defensif
saat ada orang-orang yang mengkritik tradisi tertentu dalam Islam.
Bisakah Adian bersikap seperti Remi Silado yang dikutipnya itu?

4.

Mitos terakhir: dalam perayaan natalan, menurut Adian, terselip misi
kristenisasi. Di sini terbuka kedok sesungguhnya yang dikenakan Adian.
Dia sama sekali bukanlah orang yang menghayati semangat dialog
ataragama dan tugas membangun kerukunan antaragama. Mindset Adian
adalah selalu mencurigai agama lain sebagai agama yang akan melakukan
ekspansi. Acara natalan dicurigainya sebagai alat untuk kristenisasi.
Sebagai bekas pengurus DDII tentu kita tak perlu kaget dengan watak
Adian seperti ini. Tetapi, sungguh amat kita sayangkan orang seperti
ini diserahi tugas membina kerukunan umat beragama di Indonesia.
Kerukunan seperti apakah yang akan lahir dari orang seperti ini?

Mendakwahkan agama adalah tugas mulia setiap agama. Umat Islam sudah
seharusnya mendakwahkan agamanya. Umat Kristen idem ditto. Begitu pula
umat agama-agama lain. Asal dakwah dijalankan dengan beradab dan fair,
tentu kita dukung. Dakwah yang menggunakan cara-cara yang curang,
tentu kita tentang. Membujuk orang Islam agar masuk Kristen dengan
diiming-imingi materi, misalnya, tentu kita tentang. Kalangan Krsiten
sendiri mencela cara-cara culas seperti itu.

Tetapi ini semua tentu beda dengan sikap paranoid yang mencurigai
setiap kegiatan sosial umat Kristen sebagai alat kristenisasi.
Mencurigai acara natalan sebagai sebagai alat kristenisasi tak lain
adalah bentuk dari paranoia. Kenapa kita tak bisa menggunakan
pendekatan "positive thinking", bahwa acara natalan, lebaran,
mauludan, dan sebagainya, adalah sarana untuk memupuk kerukunan dan
solidaritas kebangsaan?

Membina kerukunan antaragama membutuhkan positive thinking, bukan
negative thinking seperti diperagakan oleh Wakil Ketua Komisi
Kerukunan MUI itu.

Wa 'l-Lahu a'lam bi 'l-shawab.

Tidak ada komentar: