Senin, 26 November 2007

KH. Nahduddin Abbas Menghadiri Halal Bihalal Alumni Buntet

Oleh: Redaksi buntetpesantren.com

Forum Silaturahmi Alumni Buntet Pesantren Cirebon (Forsila) se-Jabodetabek mengadakan acara halal bihalal, Ahad, 25 November 2007, bertempat di Aula PMII Ciputat Jakarta. KH. Nahdluddin Abbas (72 th) berkenan hadir sebagai tamu khusus untuk memberikan tausiah dan sekaligus berdialog dengan para alumni sejabodetabek.

Kami sangat senang sekali beliau bisa menghadiri acara ini, sehingga kami bisa bertatap muka langsung dan dapat berdialog dengan sesepuh yang baru. Ujar Zaim Nugroho, salah satu pengurus Forsila.

Forsila sendiri adalah sebuah forum alumni Pondok Buntet Pesantren yang berada di UIN Syarif Hidayatullah. Anggotanya adalah para mahasiswa yang berada di Jabodetabek dan bermarkas di komplek UIN Jakarta. Pada tahun ini mengadakan acara halal bihalal sekaligus menandatangani komitmen bersama antara alumni Pondok Buntet Pesantren dengan BUntet sebagai lembaga, dalam rangka memperkuat ukhuwah Islamiyah, sebagai langkah awal mempersatukan komitment.

Aktivitas Forsila dalam berbagai kesempatan sering bertemu baik dalam kajian-kajian ilmiyah maupun aktivitas sosial lainnya. Hal ini merupakan komitment forsila sebagai wadah para calon generasi santri yang akan terjun di masyarakat. Ujarnya menambahkan.

“Saya dan para orang tua siapaun mengharapkan agar generasi muda apalagi dari POndok Buntet Pesantren agar terus memompa semangat untuk belajar lebih giat lagi terutama yang masih menempuh jenjang pendidikan perguruan tinggi.” kata Kyai yang murah senyum memberi semangat.

Syukur jika pendidikan itu bisa ditempuh hingga mencapai gelar master. Sebab menurut beliau, tantangan ke depan Indonesia membutuhkan generasi yang ahli dalam bidangnya masing-masing. Ujar beliau dalam sesi ceramhanya. Kendala yang biasanya dihadapi oleh para mahasiswa adalah kelangkaan biaya. Maka hal ini jangan dirisaukan. JIka saja terus belajar maka banyak program beasiswa menawarkan. Misalnya dari Inggris banyak perguruan tinggi memberikan beasiswa untuk kuliah di sana. Tambahnya.

Putra keempat KH. Abbas yang telah lama tinggal di London dan kini sudah pensiun ini merasa senang sekali bisa menghadiri acara ini. Dengan dimikian maka ada harapan kedepan di benak anak-anak muda ini untuk terus berjuang dalam menyongsong masa depan.

Beliau pun tidak lupa berpesan agar komitmen dalam akhlaqul karimah agar terus menerus dijaga dalam setiap aktivitas. Sebab buat apa pendidikan tinggi dicapai jika di kemudian hari tidak mampu menampilkan akhlak yang baik. BUkankah Nabi Muhammad Saw diutus salah satu intinya adalah komitmen untuk menegakkan akhlaqul karimah. Ujar beliau mengahiri ceramahnya.

Zaim Nugroho, salah satu pengurus Forsila merasa bersyukur bisa bertemu beliau dalam kapasitsanya sebagai sesepuh Buntet Pesantren. Sehingga kami para alumni baik yang masih kuliah maupun yang telah berkiprah di masyarakat dapat bertemu dan bidialog dengan beliau. Harapan kedepan, Jalinan silaturahmi antara alumni dengan Buntet Pesantren bisa diintensifkan sehingga memberikan sinergi untuk bersama-sama mengamban visi pendidikan pesantren di Indoensia. (MK)

Jumat, 23 November 2007

Merawat Warisan Pluralisme KH. Abdullah Abbas

Oleh : M Zaim Nugroho*



Belum lama ini kita dikagetkan oleh sebuah peristiwa duka dengan wafatnya KH. Abdullah Abbas, tokoh yang menurut Masdar Farid Masudi sebagai penyagga NU. Kita semua bersedih dan berduka atas mangkatnya beliau, karena beliau adalah panutan dan sandaran warga nahdhiyin di seluruh pelosok negeri ini.KH Abdullah Abbas adalah seorang tokoh yang sangat tawadhu dan rendah hati, beliau tidak pernah membedakan tamu tamunya, entah itu dari golongan pejabat atau tukang beca, bahkan beliau tidak pernah memebeda bedakan tamunya darimana agamanya berasal. beliau adalah sosok yang banyak dikagumi banyak orang. .

Kadang kita sering beranggapan bahwa pluralisme adalah sesuatu kata yang bukan berasal dari kosakata kita, kata itu seolah adalah kata dari barat yang harus kita tolak dan kita jauhi samapai samapai MUI mengeluarkan fatwa yang melarang ajaran Pluralisme sebagai sebuah ajaran, padahal Pluralisme adalah keberagaman dari tiap tiap individu atau kelompok.keberagaman itu adalah merupakan fitrah dari Allah. Keberagaman merupakan sesuatu yang tidak bisa kita elakan dari alam dunia ini.

KH. Abdullah Abbas merupakan sosok yang pluralis, sosok kyai yang jarang sekali ditemui didunia pesantren, beliau merupakan kyai yang yang sangat memperjuangkan nilai nilai pluralis,dan bagi beliau pluralis sejalan dengan ajaran agama Islam. terbukti beliau sangat menghormati kaum minoritas seperti etis Cina dan kelompok Lia Aminudin (komunitas Lia Eden). Lebih jauh beliau pernah melakukan doa bersama dengan kelompok Lia Eden untuk keselamatan bangsa Indonesia.

Ketika Bom Bali II menggetarkan dan meluluhlantahkan pulau dewata, beliau tidak segan untuk pergi ke Bali dan mengucapkan belasungkawa kepada keluarga korban serta mendoakan para korban bersama pemuka agama agama lain. Beliau juga mengutuk keras peristiwa laknat itu dan mengatakan bahwa peristiwa peledakan bom Bali tersebut bukan merupakan ajaran Islam dan Islam sama sekalai tidak mengajarkan ummatnya untuk berbuat seperti itu. Karena ajaran islam adalah ajaran yang rahmatan lil alamin.

Sifat seperti itulah yang mungkin jarang sekali ditemui oleh sosok ulama sekarang, dan dengan sikap itu pulalah orang sangat mengagumi sosok beliau, beliau adalah tempat wewadul umat manusia dari tukang beca samapai Menteri, dari para pengangguran samapai para konglomerat, dari kaum mayoritas sampai kaum minorotas. sosok beliau adalah pengayom bagi umat manusia, beliau tidak pernah melihat manusia sebagai oposisi biner, beliau justru memandang manusia sebagai subjek yang utuh untuk dihormati.

Kita sebagai umat manusia sangat kehilangan sosok pengayom seperti beliau, ditengah makin maraknya isu syariat Islam dan “pendongkelan” pancasila oleh kelompok fundamental yang ingin mengantikanya dengan islam sebagai ideologi dan beberapa kekerasan yang mengatasnamakan Agama kita justru kehilangan sosok beliau. Sosok beliau adalah sosok yang memandang bahwa islam merupakan sebuah jalan hidup untuk diamalkan bukan untuk diperjuangkan sebagai ideologi.

KH Abdullah Abbas adalah mursyid Thariqoh Syathoriyah yang sangat tawadhu, sangat rendah hati beliau itu merupakan modal dasar bagi beliau untuk menunjukan bahwa islam merupakan sebuah jalan bagi umat manusia untuk samapai kepada Tuhanya, maka tidak heran jika ada yang menyebut bahwa beliau adalah tokoh penyagga NU.

KH Abdullah Abbas kini telah tiada, beliau kini tidak lagi bersama kita, tapi semangat beliau akan tetap ada bersama kita yaitu semangat menjaga persatuan dan keberagaman dalam bingkai Islam Indonesia yang sangat menghormati keberagaman. Mari kita jaga warisan serta amalan yang terbesar ini.


*Penulis adalah pegiat di Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI) dan aktivis Jaringan Islam Kampus (JARIK)

MENDIAGNOSA KEKERASAN MASSA

Oleh : M. Zaim Nugroho*

Belum lama kita beranjak dari bulan ramadhan, bulan yang penuh kasih sayang dimana kita sebagai umat manusia dituntut untuk memanifestasikan rasa kasih sayang itu untuk peduli dan saling menghormati terhadap sesama umat manusia, kekerasan Massa yang belum lama ini di Poso, yang menimbulkan korban adalah sebuah kekerasan Massa yang terjadi akibat konflik ditimbulkan atas nama Agama, Agama yang sejatinya dituntut untuk membawa umat manusia menjadi pengayom bagi kehidupan manusia dirusak karena masalah fanatisme sempit dan buta, mereka menggap kelompok lain sebagai sesuatu yang layak untuk dimusnahkan. Untuk itu pulalah saya akan sedikit mendiagnosa kekerasan Massa dalam sudut pandang Ilmiah.

Di dalam bukunya memahami negatifitas “ diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma, F.Budi Hardiman mempertanyakan Mengapa manusia melakukan kekerasan kepada sesamanya? Pertanyaan itu akan muncul karena timbul keheranan dari diri kita. Keheranan adalah sebuah persaan yang timbul dari diri kita ketika menghadapi sesuatu yang tidak lazim. Bayangkan bila di dalam masyarakat kita kekerasan dianggap sesuatu yang lazim. Pasti tak ada keheranan yang muncul atasnya, akal pun tertidur dan secara bersamaan dengan itu kekerasan tidak pernah dipersoalkan.

Kekerasan massa seperti kerusuhan ,huru hara, pengeroyokan, penjarahan, pembantaian, pemberontakan, revolusi dan seterusnya meruapakan fenomena yang sangat diminati tidak hanya oleh para politikus, melainkan juga para sejarawan, sosiolog, filusuf, psikolog, sastrawan dan kritikus kebudayaan. Kekerasan sering meletus dalam sejarah umat manusia. Pemberontakan budak dizaman Romawi kuno, peralawanan rakyat Prancis melawan Raja Lois ke IV adalah peristiwa kekerasan massa yang dicatat didalam sejarah dunia. Kekerasan memang tidak hanaya terajadi di dunia Eropa, tetapi sering juga terjadi di Dunia ke tiaga. Indonesia adalah salah satu contoh negara yang mempunyai tradisi kekerasan massa yang cukup rutin .Pembunuhan masal di tahun 60-an terhadap anggota PKI, tragedi Priok dan masih basah dalam ingatan bayak orang kerusuhan yang berbau SARA pada tanggal 13-14 mei 1998 belum juga kekerasan yang terjadi di Sampit dan masih banyak kekerasan lainya.

Yang jadi persoalan bagi kita adalah mengapa gempa sosial itu bisa terjadi? bagaimana kita bisa menerangkan kondisi kondisi kekerasan massa semacam itu untuk menemukan “ struktur struktur “ tertentu dari peristiwa yang tampaknya tak tersruktur itu.? Untuk itu saya akan mengutip beberapa pandangan para tokoh yang menyumbangkan teori teorinya tentang kekerasan Massa yang begitu destruktif.

Massa “ istilah ini banayak digunakan dalam banyak arti dan sering tidak tepat karena mengacu pada berbagai fenomena. Dalam ranah ini saya hanya akan mengungkapkan istilah “massa” yang berarti massa yang tidak mengindahkan norma norma sosial yang berlaku sehari hari. Massa yang berkaitan hanya pada situasi khusus yang sifatnya Abnormal .Gustave le Bone ,bapak psikologi massa, mengatakan bahwa massa itu bodoh, mudah diprovokasi, bersifat rasistits atau singkat kata irrasoanal. Massa menurutnya terkungkung dalam batas batas ketidak sadaran, tunduk pada segala pengaruh, mudah diombang ambing oleh emosi dan mudah percaya. Di dalam massa individu individu yang berbeda memiliki ” dorongan -dorangan, nafsu-nafsu dan perasaan-perasaan yang sangat mirip “ dan bertingkah laku sama. Sigmund Freud ( bapak psikoanalisa ) juga mengatakan situasi massa adalah “ regresi ke aktiviatas psikis yang primitif…bangakitnya kembali gerobolan purba dalam diri kita,” teori –tori itu mungkin akan berlainan dengan apa yang dikatakan toori Marxis yang lebih melihat massa sebagai sebuah massa yang sadar kelas. Teori Marxis tidak memandang fenomena massa sebagai ledakan emosi atau pelampiasan naluri naluri biadab,karena aksi massa yang revolusioner berasal dari konflik kepentingan kelas kelas atau ketidak samaan struktural. Artinya mereka peserta aksi massa tidak bertindak melulu karena emosi, melainkan “strategis” :mereka mengikuti kepentingan-kepentingan kelas mereka yang bersifat objektif. Atau dengan kata lain aksi massa mereka bersifat rasional.

Manusia yang ikut serta dalam aksi massa tidak melulu digerakan oleh kemarahan, frustasi, agresi, kebencian atau ketidakpuasan seperti binatang buas yang lapar. Mereka juga tidak murni mengikuti orientasi strategis yang melekat pada kepentingan kepentingan mereka. Aksi massa bukanlah “ prilaku kolektif ” , juga bukan “ akibat logis “ dari mekanisme struktural. Menurut teori tindakan kolektif misalnya yang mendekati akis massa sebagai ” tindakan”. Disini perilaku dibedakan secara tegas dari tindakan : perilaku berkenaan dengan spontanitas naluriah, sementara tindakan menyangkut kesadaran manusiawi. Dalam keadaan keadaan tertentu orang berkumpul dan bertindak bersama diluar kerangka institusional itu untuk mengubah sesuatu yang secara individual tak bisa mereka lakukan.

Dari teori teori diatas dapat dilihat kekerasan massa seperti kerusuhan, penjaharan, konflik etnis, agama dan sebagainya adalah prilaku yang sama sekali irrasional, yang tidak mencerminkan rasa kemanusian, dalam ranah moderen sekarang konflik itu terus terjadi bahkan kalu dibiarkan akan semakin menjadi seiring dengan rasa dendam dan rasa akan diri dan kelompok yang merasa paling benar terus terpelihara, krisis identitas itu juga akan semakin tumbuh seiring dengan rasa ego akan diri yang juga bisa meletus sewaktu waktu menjadi kekerasan massa.

Dalam tulisan ini juga saya ingin mengatakan dalam diskursus epistemologi kekerasan massa dipandang sebagai sesuatu yang tidak hanya regresi atau amarah suatu kelompok belaka tetapi lebih jauh lagi merupakan sebuah kekacauan dan ketidakstabilan norma norma sosial, dimana sebuah tatanan didobrak secara paksa dengan alasan dendam atau dengan sengaja ingin menghancurkan tatanan sosial tersebut.

*Penulis adalah masasiswa UIN Syarif hidayatullah, Bergiat di FORMACI.(Forum Mahasiswa Ciputat) dan Aktifis JARIK (Jaringan Islam Kampis)

**tulisan ini dibuat sekitar tahun lalu ketika tragedi di Tanah runto, Poso bergolak