Kamis, 27 Desember 2007

Nasr Hamid Abu Zayd: Dibuang dan Dicekal

Posted by saidiman under Kebebasan

Aula pertemuan The Wahid Institute di Matraman, Jakarta Selatan, yang tak seberapa luas itu semakin tampak sempit dipenuhi oleh para aktivis, akademisi, dan kalangan wartawan। 26 November itu adalah hari dimana Prof. Nasr Hamid Abu Zaid seharusnya menyampaikan presentasi pada sebuah seminar internasional yang sedianya akan dilaksanakan di Malang, Jawa Timur. Atas undangan Abdurrahman Wahid, Abu Zaid dan beberapa tokoh lainnya menggelar konferensi pers.

Cerita bermula dari sebuah pesan yang dikirim melalui short message service (SMS) kepada Abu Zaid. Pesan pendek tersebut secara umum berisi permintaan kepada Abu Zaid untuk membatalkan kunjungannya ke Indonesia.

Sebagai tokoh yang telah lama dan sering memperoleh pelbagai bentuk pencekalan, hal semacam ini tampak biasa saja. Yang membuatnya tersentak adalah bahwa hal itu terjadi di Indonesia, negara berpenduduk mayoritas Islam yang selama ini dikaguminya. Suatu ketika, Abu Zaid bahkan pernah bermimpi untuk menghabiskan sisa hidupnya di negeri ini.

Yang lebih mengejutkan adalah bahwa sang pengirim SMS adalah Abdurrahman Mas’ud, Direktur Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama (Depag), yang juga bertindak sebagai penyelenggara acara. Abu Zaid bahkan datang ke Indonesia atas undangan lembaga negara tersebut. Abdurrahman Mas’ud, dalam SMS, menyebut bahwa dirinya telah melakukan konsultasi dengan Menteri Agama, Maftuh Basyuni, sebelum mengirimkan pesan pendek tersebut.

Berita ini dengan cepat tersebar. Banyak kalangan yang mengutuk keras upaya untuk menghalangi Abu Zaid datang ke Indonesia. Syafi’i Anwar, Direktur Indonesian Center for Islam and Pluralism (ICIP), menyatakan bahwa peristiwa itu akan memperburuk citra Islam dan Indonesia di luar negeri. Abdurrahman Wahid, Mantan Presiden RI, menyatakan bahwa peristiwa ini adalah bukti bahwa pemerintah sangat lemah dalam menegakkan konstitusi. Yenni Zanubah Wahid, Direktur The Wahid Institute, menyatakan “Tentu saja banyak pemikiran Zayd yang tidak sejalan dengan apa yang kita yakini, tetapi kita tidak punya hak untuk melarang dia mengemukakan pemikirannya.”

Muhammadiyah, melalui Ketua Umumnya, Din Syamsuddin, juga menyesalkan peristiwa ini. “Kita sangat peduli dengan kasus ini. Seharusnya peristiwa semacam ini tidak terjadi,” ungkap Din (The Jakarta Post, 29/11/2007). Lebih jauh Din menyatakan “Kedatangan Abu Zayd seharusnya dijadikan sebagai sarana tabayyun (klarifikasi) mengenai pemikiran keislamannya. Kita seharusnya mendudukkan persoalan semacam ini dalam sebuah forum diskusi atau debat yang lebih terbuka dan toleran.”

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama juga menyampaikan kecaman yang sama. Ketua PB NU, Masdar F. Mas’udi, menyatakan “Saya tidak berkepentingan untuk mengatakan apakah pemikiran keislaman Abu Zayd itu benar atau bid’ah (heretik)…tetapi adalah sangat tidak bijaksana untuk menaruh curiga yang berlebihan terhadap sebuah pemikiran baru yang bertentangan dengan pandangan umum” (The Jakarta Post, 29/11/2007).

Abdurrahman Mas’ud yang diwawancara oleh wartawan Madina, Saidiman, melalui telepon membantah isu pencekalan Abu Zayd. “Tidak pernah ada pencekalan terhadap Abu Zayd. Istilah pencekalan dalam bahasa Inggris saja saya tidak tahu,” tegasnya. Yang terjadi, menurut dia, adalah bahwa pihak panitia memperingatkan Abu Zayd untuk membatalkan kunjungannya ke Indonesia dan juga mengahadiri seminar internasional di Malang karena alasan keselamatan Abu Zayd sendiri. Dalam SMS yang dikirim kepada Abu Zayd, tidak ada kata-kata pencekalan.

Di samping itu, pihak panitia, menurut Mas’ud, khawatir acara akan terganggu dengan kehadiran Abu Zayd. “Terbukti setelah Abu Zayd batal hadir, acara berjalan lancar dan memperoleh sambutan yang sangat baik dari para peserta,” lanjut Mas’ud. Ditanya tentang apakah benar Menteri Agama yang langsung memerintahkan pembatalan, Mas’ud mengatakan bahwa pihaknya memang memperoleh masuk dari banyak kalangan, termasuk dari Menteri Agama. “Akan tetapi, panitia memiliki kewenangan sendiri untuk memutuskan dengan melihat kondisi yang ada,” imbuhnya.

Acara yang hendak dihadiri Abu Zayd tersebut adalah seminar internasional bertajuk “Moslem Youth As Agent of Change in Indonesia.” Seminar internasional ini tidak hanya dihadiri oleh peserta dari negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti Brunai, Banglades, dan Indonesia sendiri, tetapi juga dari negara-negara lain seperti Prancis, Amerika Serikat, Filipina, dan lain-lain. Acara tersebut dilaksanakan atas kerjasama Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departeman Agama dengan Universitas Leiden Negeri Belanda. Enam bulan sebelumnya, Abu Zayd telah dihubungi oleh panitia dan menyatakan kesediannya untuk hadir sebagai nara sumber.

Abu Zayd adalah sosok yang sangat akrab bagi banyak pemikir Islam di Indonesia. Beberapa bukunya diterjamahkan dan dibaca secara luas di Indonesia. Salah satu pemikirannya yang dianggap berbeda dengan mayoritas pemikiran lain adalah penegasannya tentang historisitas al-Qur’an. Zayd berkali-kali menegaskan bahwa ummat Islam tidak bisa naif terhadap fakta bahwa al-Qur’an diturunkan dalam masa dan bahasa tertentu. Bicara bahasa adalah bicara budaya, budaya dan bahasa pada masa tertentu.

Kendati Abu Zayd tidak mengingkari otentisitas al-Qur’an yang berasal dari Tuhan, tetapi ia tidak mau membuang dimensi kemanusian al-Qur’an itu sendiri. “Saya tidak mungkin menghabis begitu banyak waktu untuk meneliti sesuatu yang tidak saya yakini otentisitasnya,” tegas Abu Zayd (The Jakarta Post, 5/12/2007). Al-Qur’an adalah sebentuk komunikasi antara Tuhan dan manusia.

Abu Zayd mengakui bahwa banyak orang yang tidak memahami upayanya ini, lalu mengatakan bahwa dirinya bukanlah seorang Muslim. Tetapi dia tidak ambil peduli. Hanya Tuhanlah yang bisa memutuskan apakah ia benar seorang Muslim atau bukan.

Abu Zayd sendiri, dalam konferensi pers di Wahid Institute, tampak gusar memberi penjelasan. “Kelakukan semacam ini (yang dilakukan oleh pemerintah) adalah cerminan dari fenomena umum masyarakat (Indonesia) yang memang tidak menghargai perbedaan dan kebebasan,” tegasnya. “Saya prihatin terhadap masa depan kebebasan beragama dan demokrasi di Indonesia,” tambahnya. (Saidiman)

Tidak ada komentar: